Buat semua pembaca setia yang selalu memiliki cita-cita...
Sebelum kita membahas bagaimana dalam realitanya orang-orang memiliki cita-cita, mari kita bahas terlebih dahulu apa itu cita-cita.
"Cita-cita
menurut definisi adalah keinginan, harapan, atau tujuan yang selalu ada
dalam pikiran. Tidak ada orang hidup tanpa cita-cita, tanpa berbuat
kebajikan, dan tanpa sikap hidup. Cita-cita itu perasaan hati yang
merupakan suatu keinginan yang ada dalam hati. Merupakan
bagian atau salah satu unsur dari pandangan hidup manusia, yaitu sesuatu
yang ingin digapai oleh manusia melalui usaha. Sesuatu bisa disebut
dengan cita-cita apabila telah terjadi usaha untuk mewujudkan sesuatu
yang dianggap cita-cita itu." (Kutipan dari http://ewirahutomo.blogspot.com/2012/07/pengertian-cita-cita.html)
Selama dua puluh tahun sampai saat tulisan ini di posting, saya telah memiliki banyak cita-cita. Ini daftar cita-cita saya :
Wulan 8 th : "Ma, aku mau jadi astronot, supaya bisa ke bulan, udah gitu deket sama bintang-bintang, aku juga bisa belajar rasi bintang sama zodiak-zodiak"
Wulan 12 th : "Saya mau jadi artis yang suka berperan sebagai pahlawan, pak"
Wulan 16 th : "Cita-cita saya mau jadi penyanyi pak"
Wulan 17 th : "Saya mau jadi mahasiswa STAN, sang kampus impian lalu kerja di Kantor Pajak"
Wulan 18 th : "Jadi direktur kayaknya enak, berarti saya harus menguasai minimal Bahasa Mandarin sama Bahasa Inggris"
Wulan 19 th : "Punya pabrik kue kering dan tersebar di seluruh swalayan"
Wulan 20 th : "Punya rumah Full House di pinggir pantai, punya minimal 100m2 tanah, punya saham, berangkat umroh, tinggal di luar negeri slama 2 th, punya rumah makan di banyak kawasan perkantoran, terminal, stasiun, universitas, dan industri."
Dan masih banyak cita-cita yang tidak disebutkan, karna hanya bersifat dadakan saya ucapkan.
Namun, seiring berjalannya waktu, saya malah makin sulit menentukan apa cita-cita saya. Saya menemukan banyak orang disekitar saya yang sama seperti saya. Mereka menjalani hari-harinya begitu saja. Kesibukan, rutinitas masuk jam 8 pagi pulang jam 5 sore. Mengalir apa adanya. Mereka lupa cita-cita mereka. Apa yang mereka kerjakan sangat tidak sesuai dengan apa yang mereka impikan.
Lihat diri saya. Semakin dewasa, saya semakin mengenal siapa saya. Apa yang sangat saya gemari untuk saya lakukan. Apa yang menjadi kejenuhan dan titik perhatian saya. Apa yang benar-benar harus saya ikuti dari kata hati saya. Semua itu semakin jelas dan kontras. Kala ada hal yang benar-benar tidak saya sukai, saya akan benar-benar menghindar sejauh mungkin.
Terlahir sebagai keturunan darah seni. Bapak, saya tau dia pelukis dan pengukir hebat. Tapi beliau tidak pernah berfikir menjadi seniman adalah hal yang dapat menghasilkan uang. Yang beliau tau, saat kita bekerja untuk orang lain saat itulah uang akan kita dapatkan. Dari kecil, beliau yang mengajari aku menggambar hingga aku bisa menggambar dan mewarnai dengan baik. Tapi mungkin darah seninya sudah diputuskan untuk beliau tinggalkan demi menjadi seorang pramuniaga toko di Jakarta untuk memberi nafas keluarga kecilnya.
Mbah Piyem, nenekku. Menurut sejarah yang aku dengar, beliau seorang penari janggrung sekaligus sinden dari kampung ke kampung sewaktu muda. Hal ini dilakukannya dari hati. Sampai pada akhirnya beliau menyandang status janda dan harus mengurus 2 anak terkecilnya. Asap dapur harus selalu mengepul. Tidak mungkin beliau meneruskan hobinya. Akhirnya, beliau meninggalkan hobinya itu untuk menjadi buruh tani sampai akhir hayatnya.
Mamak, entah darimana beliau belajar memasak. Ia selalu membuatkan kami sekeluarga makanan yang enak. Meskipun hanya makanan sangat sederhana. Sebut saja sambal. Sambal buatan Mamak adalah yang paling enak di dunia. Bahan makanan apapun berhasil diolahnya menjadi makanan enak. Kemampuan masaknya diatas rata-rata. Begitupula Bapak, meskipun beliau adalah raja di keluarga kami, tapi ia mahir membuat makanan enak untuk keluarganya.
Dan masih banyak keluarga besarku yang mewarisi darah seni para sesepuh. Meskipun sebagian dari mereka pun hanya menjadikannya sebagai hobi bukan profesi. Dan menurut perediksi saya, saya menuruni mereka.
Cita-citaku tumbuh sejalan dengan kedewasaanku menghadapi hidup. Semakin mengenali realita dunia luar. Bukan hanya bungkusnya, tapi hingga isinya. Rekayasa buatan manusia sana-sini telah berlaku. Dan aku hanya bisa menjadi penonton. Atas seluruh cita-citaku yang kini tercium lebih realistis.
Menyanyi, memasak, menggambar dan mewarnai, menyair, menulis, apapun. Aku lakukan hanya sebagai sampingan. Bukan sebagai profesi.
Ketika menyanyi dapat mengobati setiap luka yang bersemayam di hati.
Ketika memasak dapat memberi kepuasan terhadap penyaluran kasih sayang dan cinta terhadap yang menikmatinya.
Ketika menggambar dan mewarnai dapat membuatmu bangga akan karya imajinasi.
Ketika menyair dan menulis dapat menjadi jembatan curahan-curahan hati yang tak bisa diungkapkan.
Semua itu adalah bintang-bintang dibalik ketangguhanku. Cita-cita dibalik realita hidup. Maka akan selalu menjadi aku ketika semua itu tetap ada di dalam diriku. Cita-cita kini tak selamanya tentang profesi, tapi sebuah pencapaian hidup.
Senin, 24 Juni 2013
TUTIKHA
by
Unknown
Dear all yang masih terus ngikutin perjalanan hidup gue. Kali ini gue mau cerita tentang temen kampus gue, dan ini menurut gue lucu banget. Sebut aja namanya Tutikha.
Sebelumnya, maaf buat Tuti. Gue gak bermaksud apa-apa soal tulisan gue ini. Cuma mau berbagi kebahagiaan ke pembaca setia gue, dan otomaticly orang-orang tau lu tuh unik. Dan setelahnya makasih buat Tuti. Karna udah buat inspirasi tema tulisan yang sempet buntu hari Minggu kemaren.
Terima kasih juga buat Muay, yang udah ngebocorin rahasia paling memalukan dengan gaya dan bahasa tubuh paling seru pas lu praktekin di depan anak-anak. Dan buat Dewi, thanks juga udah ngebocorin rahasia paling memalukan satunya lagi dengan tampang nyolot khas lu. :)
Tuti, begitu biasanya dipanggil, adalah anak perantauan dari Kota Tegal. Usianya sekitar 2 tahun di atas gue. Di Jakarta, dia ngekos sama mamanya, yang juga merantau mencari nafkah di Jakarta. Tuti memiliki postur tubuh yang bisa disebut kecil. Ya, tinggi badannya dibawah gue, sekitar >150 cm, dan langsing pula. Makanya, ibarat naik angkot, pake kaos dalem dan bayar gope aja masih diterima abangnya. hahahahaha... ini lebay sihh..
Setiap berangkat ngampus, Tuti, adalah orang yang paling fashionable di kelas. Selalu bisa aja dan pantes-pantes aja pake jilbab di gaya-gayain. Dan, gak ketinggalan juga, sepatu wedges nya yang selalu dia pake. Make up juga gak bakal absen menghiasi wajahnya yang emang imut. Ditambah lagi dengan gaya girly nya. Itu semua udah jadi satu paket berpita pink yang gak bakalan bisa dipisahin satu sama lain.
Ini semua berawal dari bercandaan Muay sama gue di kelas yang tiba-tiba membahas kartu kredit. Perlu diketahui, Muay adalah sales kartu kredit yang hebat dan berpengalaman.
"Iya. Kartu kredit aja gak di accepted... Hahahahaha...." ini gue lagi ngomongin Tuti, yang beberapa minggu lalu curhat ke gue, katanya mau bikin kartu kredit di Muay ga bisa di accepted, jadi dia gagal kredit handphone. Berhubung sebulan yang lalu Bebe nya Tuti kecolongan sama tetangga kosannya dia. jadi beberapa minggu belakangan dia pake hape yang jadul banget. Yang kalo buat nimpuk anjing, tu anjing langsung mati.. hahahaha... Ini lebay sih....
Dan dari sinilah semuanya terbongkar..... Hhahahaha *evil laugh*
SURAT PERNYATAAN
(di telepon)
Muay : Tut, nanti lu bikin surat pernyataan buat lampiran pengajuan kartu kredit lu.
Tuti : Surat Pernyataan kayak apa Muay??
Muay : Ya, surat pernyataan. Yaudah kalo lu gak bisa, gua aja yang buatin.
Tuti : Iya
Muay : Lu siapin aja kertas kop surat kosong perusahaan lu trus kasih stempel. Kira-kira letak stempelnya lima jari dari bawah kertas.
Tuti : Oooo... Iya.
Muay : Tau gak? nih, kan kertas kop surat perusahaan lu tuh. Lu ukur dah tuh. Tangan lu taro dari paling bawah kertas. Ukurannya lima jari dari bawah. Baru disitu cap nya. Tau kan?
Tuti : Ooooo... Iya.
Muay : Nah, kalo udah lu scan. Trus lu email ke gua. Gua tunggu.
Tuti : Oooo.. Oke.
(Selang beberapa lama, ada email masuk)
Muay : (langsung buka email, dan langsung liat bagian attachment) Ya Allah.... Tutiiiiiiiiii.....!!!!!!
(langsung nelepon Tuti)
Muay : Tuuttiiiiiii...... Maksud gue jarak cap perusahaan lu itu lima jari dari bawah kertas. BUKAN JARI LU LIMA-LIMANYA YANG DI CAP DI KERTASNYAAAA......!!!!!
KE RUMAH WULAN
Kali ini petualangannya agak menegangkan. Sepulang kerja emang Tuti udah niat mau nginep di rumah Wulan. Mau belajar bareng katanya. Berhubung rumah Wulan di ciputat dan kantor Tuti di Pluit jauhnya segambreng, makanya Wulan nyaranin buat naik kereta aja.
Inget kan, diawal tadi gue bilang hapenya Tuti dicolong. Ngenesnya lagi, hape jadulnya pun udah almarhum, dan sampe hari dimana kejadian ini berlangsung, Tuti belum punya hape lagi.
Dengan modal nekat, Tuti ke stasiun beli tiket tujuan stasiun ciputat.
Ketulalitan yang pertama : Naik kereta sembarangan.
Jadi setelah beli tiket, entah kenapa dia punya pikiran kalo semua kereta yang berenti di depannya punya tujuan yang sama. Jadi pas malem pulang kerja itu, apapun kereta yang lewat di depannya langsung dia naikin. Gak tau apa jadinya kalo dia gak berusaha ngontak Wulan, karna denger kabar, Tuti sampe Merak gara-gara naik kereta yang salah jurusan. Wahahhahahaaaa.... untung tuh kereta bukan jurusan Tegal Tut. Ntar lu malah pulang kampung jadinya... Ngontak Wulan??! Gimana cara??! Kan Tuti sama sekali gak punya hape....
Ketulalitan yang kedua : Nyalain Notebook di kereta.
Selama di kereta, Tuti ngirim message lewat facebook. Gimana cara??! Ternyata Tutik emang udah nyiapin notebook plus modem di tasnya. Kan diawal tadi gue bilang, Tuti ke rumah Wulan mau ngerjain tugas. Jadi, setiap mau ngontak Wulan, Tuti harus : buka notebook - nyalain windowsnya - colok modem - log in facebook - kirim message - log out facebook - shutdown notebook.
Dan kirim message kan ga bisa sekali doank trus tau jawabannya. Untung Wulan online 24 jam, jadi bisa langsung kebaca tu message facebook. Jadi Tuti harus mengulang kegiatannya : buka notebook - nyalain windowsnya - colok modem - log in facebook - kirim message - log out facebook - shutdown notebook supaya bisa baca jawaban dari Wulan.
Coba bayangin. Di kereta, desek-desekan, masih diusahain buka notebook pula. Dan kenapa juga Tuti berfikiran kalo kirim message ke facebook adalah jalan keluar supaya dia nemu titik terang di stasiun mana dia harus turun. Hahahahahaa... Kalo Wulan gak online 24 jam, dan gak pernah baca message yang dikirim Tuti, mungkin sampai hari ini Tuti entah di mana. Hahahaha... Maap Tut, becanda.. Well, the main point is pinjem hape siapa dulu gitu kek, kalo mau pergi-pergi. Atau minta instruksi sejelas-jelasnya gimana cara ke rumah Wulan dengan naik kereta...
Ketulalitan yang ketiga : Tukang ojek paling males ke puskesmas.
Setelah tiba di stasiun, dengan sigap Tuti langsung nyamperin tukang ojek yang paling deket dengan posisinya sekarang. "Bang, anterin saya ke puskesmas terdekat," kata Tuti. Apa yang ada di benak kalian setelah baca kalimat barusan?? Jujur kalo gue sih, pasti barusan aja Tuti abis kecelakaan kecil, yang mengharuskan dia berobat ke puskesmas yang terdekat, malem-malem pula. Dan kalo gue jadi tukang ojeknya, gue dengan iba dan sigap nganter ni cewek imut cepet-cepet ke puskesmas, supaya dapet pertolongan pertama secepatnya.
Hahahahahaha........ And what????!!! Yak, dugaan kalian salah. Termasuk gue juga.
Ternyata rumah Wulan itu patokannya puskesmas. Cuma itu yang Tuti inget waktu ke rumahnya Wulan beberapa minggu lalu.
Diantarlah Tuti sama Abang Ojeknya ke..... PUSKESMAS TERDEKAT.... Dan pas sampe tujuan yang menurut abang ojek udah sesuai sama yang Tuti maksud, Tuti bilang apa??!! "Bukan Puskesmas yang ini Bang!!!" hahahhhahahaa.... Lah kan tadi minta ke puskesmas terdekat Tut, Layainii Tut!! Cckckkck
Kembalilah abang ojeknya nge gas motornya untuk menuju puskesmas terdekat yang kedua. Dan apa kata Tuti??!! "Bukan Puskesmas yang ini Bang!!!". Menuju puskesmas terdekat yang ketiga "Bukan Puskesmas yang ini Bang!!!". Menuju puskesmas terdekat yang ketiga puluh satu "Bukan Puskesmas yang ini Bang!!!" Ini lebay sih.... hahahahaha
Sampai pada akhirnya Tuti sudah di puncak emosi, sambil terus ngoceh marah-marah sama abang ojeknya. Kalo gue jadi abang ojeknya, udah gue turunin di jalan dari tadi... -_____-"
"Berenti sini dulu bang!!" dan dengan muka males banget, abang ojek patuh sama perintah Tuti.
Ketulalitan keempat : Gangguin cewek-cewek yang lagi rumpi.
Abang ojek berenti gak jauh dari sekumpulan cewek-cewek yang lagi nongkrong-nongkrong bercanda di pinggir jalan. Tuti langsung turun. Berjalan mendekati sekumpulan cewek-cewek itu. Dengan berani dan tanpa malu. "Mbak, boleh pinjem hapenya gak?? Saya mau telpon temen saya, penting. Tapi saya gak ada hapenya. Adanya kartunya," kata Tuti dengan gaya bicara khas Tegalnya.
Kebayang gak sih, tu sekumpulan cewek langsung berubah mimik wajahnya, gara-gara didatengin cewek asing dari dunia antah berantah yang imut, yang tiba-tiba dateng cuma mau minjem hape karna gak punya hape dan cuma punya kartunya. Pasti yang ada di pikiran mereka : Hellowww, siapa lu?? Situ oke?? Kenal enggak, tiba-tiba dateng pinjem hape. Hari gini gak punya hape. Aduh hidup di taun berapa sihhh???
Tapi Alhamdulillah, ada salah satu dari mereka yang iba ngeliat nasib cewek imut ini. Sendiri, malem-malem, dan gak punya hape pula. Dan titik terang pun hadir, setelah Tuti akhirnya bisa nelpon Wulan. Meskipun pake hape pinjeman. Dan untungnya, tuh kartu sim Tuti ada pulsanya. Coba kalo enggak. Pasti bakalan repot lagi, harus nyari tukang isi pulsa terdekat. Hahahahahahaa....
Pas udah nyambung telpon ke hapenya Wulan, Wulan langsung ngasih instruksi ke tukang ojeknya buat nganterin ke alamat rumahnya dengan jelas. Bukan ke puskesmas terdekat ya... Catet!!
Akhir cerita, sampailah Tuti di rumah Wulan dengan badan yang kelelahan. Dan tu tukang ojek untungnya cuma minta bayaran Rp 25.000,- Arrrrrrrkkkkkkk... Kalo gue jadi tukang ojeknya, gue pasang tarif Rp 100.000,-. Rp 25.000,- buat bensinnya dan Rp 25.000,- buat beban moral nahan malu karna muter-muter gak jelas, dan Rp 50.000,- lagi buat biaya omelan Tuti yang nyebelin banget, padahal Tutinya yang salah.
Pokoknya kalo ke rumah temen tuh, sebutin alamat jelasnya. Bukan nyebut puskesmas terdekat. Hahahahahahahahahaaaaaaaaa................
Sekian...
Sebelumnya, maaf buat Tuti. Gue gak bermaksud apa-apa soal tulisan gue ini. Cuma mau berbagi kebahagiaan ke pembaca setia gue, dan otomaticly orang-orang tau lu tuh unik. Dan setelahnya makasih buat Tuti. Karna udah buat inspirasi tema tulisan yang sempet buntu hari Minggu kemaren.
Terima kasih juga buat Muay, yang udah ngebocorin rahasia paling memalukan dengan gaya dan bahasa tubuh paling seru pas lu praktekin di depan anak-anak. Dan buat Dewi, thanks juga udah ngebocorin rahasia paling memalukan satunya lagi dengan tampang nyolot khas lu. :)
Tuti, begitu biasanya dipanggil, adalah anak perantauan dari Kota Tegal. Usianya sekitar 2 tahun di atas gue. Di Jakarta, dia ngekos sama mamanya, yang juga merantau mencari nafkah di Jakarta. Tuti memiliki postur tubuh yang bisa disebut kecil. Ya, tinggi badannya dibawah gue, sekitar >150 cm, dan langsing pula. Makanya, ibarat naik angkot, pake kaos dalem dan bayar gope aja masih diterima abangnya. hahahahaha... ini lebay sihh..
Setiap berangkat ngampus, Tuti, adalah orang yang paling fashionable di kelas. Selalu bisa aja dan pantes-pantes aja pake jilbab di gaya-gayain. Dan, gak ketinggalan juga, sepatu wedges nya yang selalu dia pake. Make up juga gak bakal absen menghiasi wajahnya yang emang imut. Ditambah lagi dengan gaya girly nya. Itu semua udah jadi satu paket berpita pink yang gak bakalan bisa dipisahin satu sama lain.
Ini semua berawal dari bercandaan Muay sama gue di kelas yang tiba-tiba membahas kartu kredit. Perlu diketahui, Muay adalah sales kartu kredit yang hebat dan berpengalaman.
"Iya. Kartu kredit aja gak di accepted... Hahahahaha...." ini gue lagi ngomongin Tuti, yang beberapa minggu lalu curhat ke gue, katanya mau bikin kartu kredit di Muay ga bisa di accepted, jadi dia gagal kredit handphone. Berhubung sebulan yang lalu Bebe nya Tuti kecolongan sama tetangga kosannya dia. jadi beberapa minggu belakangan dia pake hape yang jadul banget. Yang kalo buat nimpuk anjing, tu anjing langsung mati.. hahahaha... Ini lebay sih....
Dan dari sinilah semuanya terbongkar..... Hhahahaha *evil laugh*
SURAT PERNYATAAN
(di telepon)
Muay : Tut, nanti lu bikin surat pernyataan buat lampiran pengajuan kartu kredit lu.
Tuti : Surat Pernyataan kayak apa Muay??
Muay : Ya, surat pernyataan. Yaudah kalo lu gak bisa, gua aja yang buatin.
Tuti : Iya
Muay : Lu siapin aja kertas kop surat kosong perusahaan lu trus kasih stempel. Kira-kira letak stempelnya lima jari dari bawah kertas.
Tuti : Oooo... Iya.
Muay : Tau gak? nih, kan kertas kop surat perusahaan lu tuh. Lu ukur dah tuh. Tangan lu taro dari paling bawah kertas. Ukurannya lima jari dari bawah. Baru disitu cap nya. Tau kan?
Tuti : Ooooo... Iya.
Muay : Nah, kalo udah lu scan. Trus lu email ke gua. Gua tunggu.
Tuti : Oooo.. Oke.
(Selang beberapa lama, ada email masuk)
Muay : (langsung buka email, dan langsung liat bagian attachment) Ya Allah.... Tutiiiiiiiiii.....!!!!!!
(langsung nelepon Tuti)
Muay : Tuuttiiiiiii...... Maksud gue jarak cap perusahaan lu itu lima jari dari bawah kertas. BUKAN JARI LU LIMA-LIMANYA YANG DI CAP DI KERTASNYAAAA......!!!!!
KE RUMAH WULAN
Kali ini petualangannya agak menegangkan. Sepulang kerja emang Tuti udah niat mau nginep di rumah Wulan. Mau belajar bareng katanya. Berhubung rumah Wulan di ciputat dan kantor Tuti di Pluit jauhnya segambreng, makanya Wulan nyaranin buat naik kereta aja.
Inget kan, diawal tadi gue bilang hapenya Tuti dicolong. Ngenesnya lagi, hape jadulnya pun udah almarhum, dan sampe hari dimana kejadian ini berlangsung, Tuti belum punya hape lagi.
Dengan modal nekat, Tuti ke stasiun beli tiket tujuan stasiun ciputat.
Ketulalitan yang pertama : Naik kereta sembarangan.
Jadi setelah beli tiket, entah kenapa dia punya pikiran kalo semua kereta yang berenti di depannya punya tujuan yang sama. Jadi pas malem pulang kerja itu, apapun kereta yang lewat di depannya langsung dia naikin. Gak tau apa jadinya kalo dia gak berusaha ngontak Wulan, karna denger kabar, Tuti sampe Merak gara-gara naik kereta yang salah jurusan. Wahahhahahaaaa.... untung tuh kereta bukan jurusan Tegal Tut. Ntar lu malah pulang kampung jadinya... Ngontak Wulan??! Gimana cara??! Kan Tuti sama sekali gak punya hape....
Ketulalitan yang kedua : Nyalain Notebook di kereta.
Selama di kereta, Tuti ngirim message lewat facebook. Gimana cara??! Ternyata Tutik emang udah nyiapin notebook plus modem di tasnya. Kan diawal tadi gue bilang, Tuti ke rumah Wulan mau ngerjain tugas. Jadi, setiap mau ngontak Wulan, Tuti harus : buka notebook - nyalain windowsnya - colok modem - log in facebook - kirim message - log out facebook - shutdown notebook.
Dan kirim message kan ga bisa sekali doank trus tau jawabannya. Untung Wulan online 24 jam, jadi bisa langsung kebaca tu message facebook. Jadi Tuti harus mengulang kegiatannya : buka notebook - nyalain windowsnya - colok modem - log in facebook - kirim message - log out facebook - shutdown notebook supaya bisa baca jawaban dari Wulan.
Coba bayangin. Di kereta, desek-desekan, masih diusahain buka notebook pula. Dan kenapa juga Tuti berfikiran kalo kirim message ke facebook adalah jalan keluar supaya dia nemu titik terang di stasiun mana dia harus turun. Hahahahahaa... Kalo Wulan gak online 24 jam, dan gak pernah baca message yang dikirim Tuti, mungkin sampai hari ini Tuti entah di mana. Hahahaha... Maap Tut, becanda.. Well, the main point is pinjem hape siapa dulu gitu kek, kalo mau pergi-pergi. Atau minta instruksi sejelas-jelasnya gimana cara ke rumah Wulan dengan naik kereta...
Ketulalitan yang ketiga : Tukang ojek paling males ke puskesmas.
Setelah tiba di stasiun, dengan sigap Tuti langsung nyamperin tukang ojek yang paling deket dengan posisinya sekarang. "Bang, anterin saya ke puskesmas terdekat," kata Tuti. Apa yang ada di benak kalian setelah baca kalimat barusan?? Jujur kalo gue sih, pasti barusan aja Tuti abis kecelakaan kecil, yang mengharuskan dia berobat ke puskesmas yang terdekat, malem-malem pula. Dan kalo gue jadi tukang ojeknya, gue dengan iba dan sigap nganter ni cewek imut cepet-cepet ke puskesmas, supaya dapet pertolongan pertama secepatnya.
Hahahahahaha........ And what????!!! Yak, dugaan kalian salah. Termasuk gue juga.
Ternyata rumah Wulan itu patokannya puskesmas. Cuma itu yang Tuti inget waktu ke rumahnya Wulan beberapa minggu lalu.
Diantarlah Tuti sama Abang Ojeknya ke..... PUSKESMAS TERDEKAT.... Dan pas sampe tujuan yang menurut abang ojek udah sesuai sama yang Tuti maksud, Tuti bilang apa??!! "Bukan Puskesmas yang ini Bang!!!" hahahhhahahaa.... Lah kan tadi minta ke puskesmas terdekat Tut, Layainii Tut!! Cckckkck
Kembalilah abang ojeknya nge gas motornya untuk menuju puskesmas terdekat yang kedua. Dan apa kata Tuti??!! "Bukan Puskesmas yang ini Bang!!!". Menuju puskesmas terdekat yang ketiga "Bukan Puskesmas yang ini Bang!!!". Menuju puskesmas terdekat yang ketiga puluh satu "Bukan Puskesmas yang ini Bang!!!" Ini lebay sih.... hahahahaha
Sampai pada akhirnya Tuti sudah di puncak emosi, sambil terus ngoceh marah-marah sama abang ojeknya. Kalo gue jadi abang ojeknya, udah gue turunin di jalan dari tadi... -_____-"
"Berenti sini dulu bang!!" dan dengan muka males banget, abang ojek patuh sama perintah Tuti.
Ketulalitan keempat : Gangguin cewek-cewek yang lagi rumpi.
Abang ojek berenti gak jauh dari sekumpulan cewek-cewek yang lagi nongkrong-nongkrong bercanda di pinggir jalan. Tuti langsung turun. Berjalan mendekati sekumpulan cewek-cewek itu. Dengan berani dan tanpa malu. "Mbak, boleh pinjem hapenya gak?? Saya mau telpon temen saya, penting. Tapi saya gak ada hapenya. Adanya kartunya," kata Tuti dengan gaya bicara khas Tegalnya.
Kebayang gak sih, tu sekumpulan cewek langsung berubah mimik wajahnya, gara-gara didatengin cewek asing dari dunia antah berantah yang imut, yang tiba-tiba dateng cuma mau minjem hape karna gak punya hape dan cuma punya kartunya. Pasti yang ada di pikiran mereka : Hellowww, siapa lu?? Situ oke?? Kenal enggak, tiba-tiba dateng pinjem hape. Hari gini gak punya hape. Aduh hidup di taun berapa sihhh???
Tapi Alhamdulillah, ada salah satu dari mereka yang iba ngeliat nasib cewek imut ini. Sendiri, malem-malem, dan gak punya hape pula. Dan titik terang pun hadir, setelah Tuti akhirnya bisa nelpon Wulan. Meskipun pake hape pinjeman. Dan untungnya, tuh kartu sim Tuti ada pulsanya. Coba kalo enggak. Pasti bakalan repot lagi, harus nyari tukang isi pulsa terdekat. Hahahahahahaa....
Pas udah nyambung telpon ke hapenya Wulan, Wulan langsung ngasih instruksi ke tukang ojeknya buat nganterin ke alamat rumahnya dengan jelas. Bukan ke puskesmas terdekat ya... Catet!!
Akhir cerita, sampailah Tuti di rumah Wulan dengan badan yang kelelahan. Dan tu tukang ojek untungnya cuma minta bayaran Rp 25.000,- Arrrrrrrkkkkkkk... Kalo gue jadi tukang ojeknya, gue pasang tarif Rp 100.000,-. Rp 25.000,- buat bensinnya dan Rp 25.000,- buat beban moral nahan malu karna muter-muter gak jelas, dan Rp 50.000,- lagi buat biaya omelan Tuti yang nyebelin banget, padahal Tutinya yang salah.
Pokoknya kalo ke rumah temen tuh, sebutin alamat jelasnya. Bukan nyebut puskesmas terdekat. Hahahahahahahahahaaaaaaaaa................
Sekian...
Minggu, 16 Juni 2013
Rok Baru
by
Unknown
Dear, sahabat-sahabat gue yang masih setia ngikutin perjalanan hidup gue. Kali ini gue mau share tentang apa yang menjadi bagian atas Resolusi 2013 gue. Apa??! "Jadi Anggun"
Umumnya jika kita mendengar kata "Anggun", pasti yang terbesit di pikiran kita adalah sopan, lemah lembut, jika berjalan tegap dan landai bagaikan burung merak, jika berpakaian santun dan syar'i, rajin memberi senyuman hangat pada saudara se muslim, dan berpenampilan menarik layaknya wanita sepatutnya. Menggunakan rok misalnya.
Gue. Seperti yang kalian tau, khususnya orang-orang yang sering ketemu dan bareng-bareng gue. BUKAN yang termasuk kategori wanita anggun sama sekali. Bahkan jauh dari predikat itu. Entah kenapa di malam tahun baru 2013, pas lagi rame-ramenya kembang api menghiasi langit gerimis malam itu, salah satu yang terucap dari sekian banyak resolusi gue adalah "Saya mau berubah jadi anggun. Layaknya seorang wanita yang lemah lembut, santun, dan meneduhkan".
Seperti halnya resolusi malam tahun baru 2011 lalu. "Saya mau pake jilbab. Layaknya seorang wanita yang sangat dihormati dan disegani maka saya terlindungi dari mulut-mulut penggoda dan mata-mata laknat di jalanan," dan saya mulai menggunakan jilbab tepat di tanggal 1 Januari 2011. Tidak mudah saat itu, beradaptasi dengan gaya dan penampilan baru. Mendapat pujian dan komentar sana-sini. Bahkan pada pertengahan perjalanan gue pake jilbab, banyak banget tantangannya. Mulai dari cara penggunaan jilbab yang kurang rapi. Merasa gak cocok setelan wajah gue kalo pake jilbab, soalnya muka gue jadi keliatan tambah dewasa dari usia sebenarnya. Trus, kalo kondangan gue bingung mau pake baju apa, karna baju-baju terbaik gue semuanya dalam versi baju jahilliah.
Tapi lambat laun, berkat bantuan Allah, gue udah punya baju-baju panjang yang menutup aurat. Blus dan kemeja panjang, celana panjang, dan koleksi warna jilbab gue juga udah banyak.
Yak, kalo kalian nyimak kalimat sebelum ini, gak ada rok yang dicantumkan di sana. And you know what??! Sebagai wanita muslim yang memutuskan untuk menutup aurat, gue belum sepenuhnya sempurna. Sebab, apa yang dikatakan bahwa "Sebaiknya wanita memakai pakaian wanita" kurang lebih begitu, dan gue belum masuk ke kategori "wanita" yang dimaksud itu. Sebab apa?? Yak, betul sekali, CELANA.
Buat gue celana adalah pakaian ternyaman yang gue punya. Gue bisa leluasa bergerak. Naik turun tangga sambil berjingkrak, lari, joget-joget, duduk sila (karna gue gak pernah bisa betah lama kalo duduk simpuh). Kesimpulannya, kaki gue bebas bergerak kemanapun gue melangkah. Simple, praktis, dan enerjik. Seperti gambaran sebagian kepribadian gue yang udah banyak dikenal oleh orang-orang disekitar gue.
Dan mengenai apa yang dimaksud "anggun" seutuhnya buat gue adalah salah satunya berhasil menggunakan rok. Dari kecil sampe tua begini, gue paling merasa gak pantes kalo pake rok. Seumur hidup gue, rok yang gue punya antara lain rok sekolah, sepotong rok trendy coklat selutut, sama dress batik yang suka gue pake ke kondangan. Dan semua itu bener-bener gak nyaman buat gue pake, yang emang sekarang udah gue wariskan peniggalan-peninggalan tersebut ke adek gue.
Berbeda dengan misi gue di resolusi 2011 yang langsung gue realisasikan sejak hari pertama tahun 2011 lahir, memakai rok ibarat hal yang masih jauh banget misi ini terbesit untuk segera gue lakukan. Gue masih ragu, dan masih banyak yang gue pertimbangkan atas hal yang satu ini. Namun, di semester V ini gue mengenal seorang wanita bernama Sofi. Dia temen sekelas gue semester V ini.
Mengenai Sofi, gue mengaku iri bahkan sejak dia tiba-tiba masuk ke kelas gue dengan anggunnya. Gaya jilbab yang ia kenakan gak beda jauh dengan gue. Tapi gaya pakaiannya yang bener-bener membuat tekat gue kuat untuk segera melakukan misi gue "Pake Rok". Memakai rok dan blus longgar. Dengan gelagat lembut dan apik. Cerdas, murah senyum, ramah, dan cantik. Dia tidak berdandan sama sekali. Tapi pancaran ke solehannya menyeruak ke seluruh ruang kelas. Subhanallah. Gue aja yang cewek jatuh cinta sama makhluk yang kayak begitu, apalagi cowok. Sejak saat itu gue berfikir terus menerus memantapkan hati gue untuk pake rok. Apapun kata orang-orang, bagaimanapun pendapat mereka, MAJU TERUUUUSSS!!!
Sampai pas banget tanggal 6 Juni 2013 kemaren, tepat di hari peringatan Isra Mi'raj. Malam Jumat itu gue mimpi bisa baca Al Quran dengan bersenandung.
Di sebuah ruangan berisi para akhwat dengan jilbab-jilbab nya yang menjuntai indah. Di sisi ruangan lain di balik tabir ada sekumpulan ikhwan bersama seorang Kiyai yang sedang mendengarkan tadarus estafet yang dilakukan semua orang diruangan ini. Pakaian mereka bagus, rapi berwarna warni salem. Aku baru saja hadir di Majelis ini. Tercengang dengan keharuan yang mendalam. Lantunan ayat suci.
Kali ini sedang giliran para akhwat membacanya secara estafet. Pandanganku menyapu ke seluruh sisi ruangan. Hanya ada beberapa orang yang aku kenal. Mereka teman sekelasku di SMK dan beberapa teman kuliahku. Mereka semua duduk bersimpuh diatas karpet mushola yang merangkap sebagai sajadah, rapi. Aku perhatikan seksama. Aku pernah mengenal tempat ini. Ini mushola di gedung SMK ku. Tapi aku agak ragu, seperti mimpi di dalam mimpi.
Seorang akhwat mengenakan mukena putih menarik tanganku yang lebih tinggi dari kepalanya. Isyarat bahwa menyuruhku duduk dan bergabung dengan yang lainnya. Aku toleh wajahnya. Dia mamak. Dengan senyumnya yang melahirkan sejuta kekuatan dalam hati anak-anaknya. Aku hanya tersenyum padanya, seperti hal ini sudah biasa kulakukan.
Setelah ini giliranku membaca. Dengan semangat yang menggebu-gebu dan percaya diri yang amat sangat, aku mengamati dan mengikuti setiap ayat yang sedang dibacakan. Sampai pada bagian sebuah surat yang di dalam mimpi aku amat menghafalnya. "Ini sangat mudah, dan aku sangat hafal. Akan ku bacakan dengan lantunan indah," pikirku.
Sekarang giliranku. Aku menutup Al Quran. Aku yakin bisa mengucapkan kalimat demi kalimat indah tanpa melihat bacaan. "A'uu dzubillahiminashyaitoonirrojiimm... Bismillahirrohmaanirrohiim..." Aku mengucapkannya lancar. Kata demi kata. Kalimat demi kalimat. Aku bangga, dan akhirnya aku bisa melantunkan ayat suci Al Quran seindah ini. "Alhamdulillah Ya Allah... Aku sadar ini mimpi. Dan Engkau memberiku kesempatan emas ini meski dalam mimpi. Ini yang terindah dari apa yang Engkau kabulkan." Aku melakukannya seperti sudah biasa melakukannya. Alhamdulillah...
Di pertemuan kelas minggu ini, gue udah nitip beli rok sama temen sekelas gue, Wulan, di tanah abang. Berhubung hari Jumatnya dia cuti bersama, jadi belom bisa bawain minggu ini. "Gak papa. Masih ada minggu depan" pikir gue. Di weekday berikutnya, aku mengingatkan. "Lan, jangan lupa yak. Warna coklat kopi"
Aku memilih rok bahan spandex warna coklat, karna aku suka bawahan warna coklat. Warnanya lembut, hangat, dan penuh kasih sayang.
Daaannn.... Taa raaaaa!! Pertemuan Sabtu 15 Juni 2013, akhirnya gue menerima rok pertama gue dari tangannya Wulan, dan gue membayar cash langsung tanpa ditunda. Demi apapun, malam minggu ini, hal terindah adalah rok pertama gue sudah terlipat rapi di tas gue.
Sepulang kuliah sesampainya di rumah, gue langsung buru-buru menjajal penampilan baru gue. Dan gak sedikit juga waktu yang gue habiskan cuma sekedar petantang petenteng di depan kaca kamar gue. Bolak mandir kesana kemari, berputar putar bak model tahun 70an. Memantas-mantaskan atasan yang bakal cocok gue pake ke kampus besok pagi.
Gue pun keluar kamar dengan girangnya, pamer-pamer rok baru gue ke semua orang di rumah ini. Sambil berjoget ala tarian tango, atau tap dance, atau sesekali gue berjoget ala flamenco di depan kedua kakak dan adik gue yang lagi rebahan santai di depan tivi.
Dengan muka garfield adek gue bilang gini ke kakak gue, "Mbak, lu lupa beliin obat adek lu yak? Itu dia udah parah gitu"
Trus kakak gue komentarin gue yang sedang asik berjoget ria di depan mereka sambil bercandain keponakan gue, Hanif, "Dek, sejak kapan lu jadi cewek? Hayo ngaku, sejak kapan??"
Dengan penuh kebanggaan gue menjawab, "Dua menit yang lalu," mendramatisir.
Keesokan paginya, tepatnya Hari Minggu 16 Juni 2013. Ini kedua kali gue petantang petenteng di depan kaca kamar gue. Bolak mandir kesana kemari, berputar putar bak model tahun 70an. Memantas-mantaskan atasan yang bakal cocok gue pake ke kampus hari ini. Gua padankan dengan kaus oblong cokelat caramel gue plus cardigan jersey hitam. Segera lari ke dapur meminta pendapat mamak. "Gimana mak??" Sambil senyum-senyum kegirangan mirip kambing yang udah nemu rumput setelah puasa berhari-hari.
Dan ini komentar mamak gue, "Ora apik. Ojo grombzhongan ngono to. Sing mener nganggone. Ojo tirangkep rangkep ngono." (Ga bagus. Jangan kegombrongan kayak gitu. Yang bener make bajunya. Jangan dirangkep-rangkep kayak gitu)
Gue masuk kamar lagi. Dan mengganti atasan yang memang sudah gue siapin buat opsi kedua kalo emang kaos oblong gue malah bikin penampilan gue lebih mirip mbak-mbak komplek yang mau ke warung dibanding seorang mahasiswa yang mau berangkat ngampus.
"Taa... raaa!!! Gimana??" gue meminta pendapat kembali dengan berlari ke dapur untuk kedua kali.
Mamak gue mengernyitkan dahi, seolah-olah ada yang sedang ia timbang-timbang. "Nah, ini lebih mendingan. Tapi kayak orang mau ngaji. Ya tapi cakepan ini daripada tadi." Gue spontan meringis kegirangan. "Mirip anak pesantren," lanjut mamak. "Aamiin," gue jawab.
Bapak yang sedang berjalan ke arah ruang tamu sambil mengancing lengan kemejanya gak luput dari permintaan pendapat anaknya yang lagi girang satu ini. "Gimana pak??!" Eh Bapak gue cuma ketawa, trus melengos ke arah ruang tamu yang gak kliatan lagi bayangannya dari kamar gue.
"Segini burukkah penampilan gue hari ini??" pikir gue. "Ah, bodo. Apapun kata orang, maju terus."
Yak, setelah mendapat beberapa tanggapan ambigu dari keluarga gue, gak kalah seru sama komen temen-temen sesampainya gue di kampus.
Wulan : "gue kalo liat elu berasa pengen nyanyi, suasana di kota santri... lalalala~~~"
Devi : "Seharusnya lu pake kaos yang agak kecilan. Soalnya rok lu udah megar, kalo pake atasan gombrong kurang pantes."
Muay : "bagus eh, bagus. Kayak mau ngaji. hahhaha"
Imas : "Kayak ibu guru.. Iya, harusnya atasannya jangan gombrong lan.."
Bambang : "Eh, sitay. Lu lagi keabisan stock celana??!!!"
Dewi : "Sitay begitu buat pangerannya tuh.. Jiaaelaaahh.. Ngaku aja.."
Mimi : "Bagus kok. pantes"
Triya : "Gue tau tuh, lu berdiri di depan gitu sambil salting kan??"
Tutik : "hahhaa.. biar kayak bu haji..."
Mbak Ida : "kok tumben Lan make rok??"
Mbak Ira : "Wulaaaaann.. kok kamu pake rok siii?? Secara ya, seorang Wulan tuh yang woooowww.. Hebring, nyentrik, petakilan.. Bisa juga lu pake rok.... hahhaha"
Yah.. semua itu pendapat, yang bakal jadiin gue lebih baik lagi di kemudian hari. Semua itu langsung gue aminin kala gue mendapat celetukan yang menjurus ke arah doa terbaik buat gue.
Dan pagi ini di kantor, sepupu gue liat gue make rok komentar gini, "Itu rok apa sapu jalanan???!!!"
HHwwaaaaaakkkkk....... DDzzziiigggggg!!!!!
Sekian_
Umumnya jika kita mendengar kata "Anggun", pasti yang terbesit di pikiran kita adalah sopan, lemah lembut, jika berjalan tegap dan landai bagaikan burung merak, jika berpakaian santun dan syar'i, rajin memberi senyuman hangat pada saudara se muslim, dan berpenampilan menarik layaknya wanita sepatutnya. Menggunakan rok misalnya.
Gue. Seperti yang kalian tau, khususnya orang-orang yang sering ketemu dan bareng-bareng gue. BUKAN yang termasuk kategori wanita anggun sama sekali. Bahkan jauh dari predikat itu. Entah kenapa di malam tahun baru 2013, pas lagi rame-ramenya kembang api menghiasi langit gerimis malam itu, salah satu yang terucap dari sekian banyak resolusi gue adalah "Saya mau berubah jadi anggun. Layaknya seorang wanita yang lemah lembut, santun, dan meneduhkan".
Seperti halnya resolusi malam tahun baru 2011 lalu. "Saya mau pake jilbab. Layaknya seorang wanita yang sangat dihormati dan disegani maka saya terlindungi dari mulut-mulut penggoda dan mata-mata laknat di jalanan," dan saya mulai menggunakan jilbab tepat di tanggal 1 Januari 2011. Tidak mudah saat itu, beradaptasi dengan gaya dan penampilan baru. Mendapat pujian dan komentar sana-sini. Bahkan pada pertengahan perjalanan gue pake jilbab, banyak banget tantangannya. Mulai dari cara penggunaan jilbab yang kurang rapi. Merasa gak cocok setelan wajah gue kalo pake jilbab, soalnya muka gue jadi keliatan tambah dewasa dari usia sebenarnya. Trus, kalo kondangan gue bingung mau pake baju apa, karna baju-baju terbaik gue semuanya dalam versi baju jahilliah.
Tapi lambat laun, berkat bantuan Allah, gue udah punya baju-baju panjang yang menutup aurat. Blus dan kemeja panjang, celana panjang, dan koleksi warna jilbab gue juga udah banyak.
Yak, kalo kalian nyimak kalimat sebelum ini, gak ada rok yang dicantumkan di sana. And you know what??! Sebagai wanita muslim yang memutuskan untuk menutup aurat, gue belum sepenuhnya sempurna. Sebab, apa yang dikatakan bahwa "Sebaiknya wanita memakai pakaian wanita" kurang lebih begitu, dan gue belum masuk ke kategori "wanita" yang dimaksud itu. Sebab apa?? Yak, betul sekali, CELANA.
Buat gue celana adalah pakaian ternyaman yang gue punya. Gue bisa leluasa bergerak. Naik turun tangga sambil berjingkrak, lari, joget-joget, duduk sila (karna gue gak pernah bisa betah lama kalo duduk simpuh). Kesimpulannya, kaki gue bebas bergerak kemanapun gue melangkah. Simple, praktis, dan enerjik. Seperti gambaran sebagian kepribadian gue yang udah banyak dikenal oleh orang-orang disekitar gue.
Dan mengenai apa yang dimaksud "anggun" seutuhnya buat gue adalah salah satunya berhasil menggunakan rok. Dari kecil sampe tua begini, gue paling merasa gak pantes kalo pake rok. Seumur hidup gue, rok yang gue punya antara lain rok sekolah, sepotong rok trendy coklat selutut, sama dress batik yang suka gue pake ke kondangan. Dan semua itu bener-bener gak nyaman buat gue pake, yang emang sekarang udah gue wariskan peniggalan-peninggalan tersebut ke adek gue.
Berbeda dengan misi gue di resolusi 2011 yang langsung gue realisasikan sejak hari pertama tahun 2011 lahir, memakai rok ibarat hal yang masih jauh banget misi ini terbesit untuk segera gue lakukan. Gue masih ragu, dan masih banyak yang gue pertimbangkan atas hal yang satu ini. Namun, di semester V ini gue mengenal seorang wanita bernama Sofi. Dia temen sekelas gue semester V ini.
Mengenai Sofi, gue mengaku iri bahkan sejak dia tiba-tiba masuk ke kelas gue dengan anggunnya. Gaya jilbab yang ia kenakan gak beda jauh dengan gue. Tapi gaya pakaiannya yang bener-bener membuat tekat gue kuat untuk segera melakukan misi gue "Pake Rok". Memakai rok dan blus longgar. Dengan gelagat lembut dan apik. Cerdas, murah senyum, ramah, dan cantik. Dia tidak berdandan sama sekali. Tapi pancaran ke solehannya menyeruak ke seluruh ruang kelas. Subhanallah. Gue aja yang cewek jatuh cinta sama makhluk yang kayak begitu, apalagi cowok. Sejak saat itu gue berfikir terus menerus memantapkan hati gue untuk pake rok. Apapun kata orang-orang, bagaimanapun pendapat mereka, MAJU TERUUUUSSS!!!
Sampai pas banget tanggal 6 Juni 2013 kemaren, tepat di hari peringatan Isra Mi'raj. Malam Jumat itu gue mimpi bisa baca Al Quran dengan bersenandung.
Di sebuah ruangan berisi para akhwat dengan jilbab-jilbab nya yang menjuntai indah. Di sisi ruangan lain di balik tabir ada sekumpulan ikhwan bersama seorang Kiyai yang sedang mendengarkan tadarus estafet yang dilakukan semua orang diruangan ini. Pakaian mereka bagus, rapi berwarna warni salem. Aku baru saja hadir di Majelis ini. Tercengang dengan keharuan yang mendalam. Lantunan ayat suci.
Kali ini sedang giliran para akhwat membacanya secara estafet. Pandanganku menyapu ke seluruh sisi ruangan. Hanya ada beberapa orang yang aku kenal. Mereka teman sekelasku di SMK dan beberapa teman kuliahku. Mereka semua duduk bersimpuh diatas karpet mushola yang merangkap sebagai sajadah, rapi. Aku perhatikan seksama. Aku pernah mengenal tempat ini. Ini mushola di gedung SMK ku. Tapi aku agak ragu, seperti mimpi di dalam mimpi.
Seorang akhwat mengenakan mukena putih menarik tanganku yang lebih tinggi dari kepalanya. Isyarat bahwa menyuruhku duduk dan bergabung dengan yang lainnya. Aku toleh wajahnya. Dia mamak. Dengan senyumnya yang melahirkan sejuta kekuatan dalam hati anak-anaknya. Aku hanya tersenyum padanya, seperti hal ini sudah biasa kulakukan.
Setelah ini giliranku membaca. Dengan semangat yang menggebu-gebu dan percaya diri yang amat sangat, aku mengamati dan mengikuti setiap ayat yang sedang dibacakan. Sampai pada bagian sebuah surat yang di dalam mimpi aku amat menghafalnya. "Ini sangat mudah, dan aku sangat hafal. Akan ku bacakan dengan lantunan indah," pikirku.
Sekarang giliranku. Aku menutup Al Quran. Aku yakin bisa mengucapkan kalimat demi kalimat indah tanpa melihat bacaan. "A'uu dzubillahiminashyaitoonirrojiimm... Bismillahirrohmaanirrohiim..." Aku mengucapkannya lancar. Kata demi kata. Kalimat demi kalimat. Aku bangga, dan akhirnya aku bisa melantunkan ayat suci Al Quran seindah ini. "Alhamdulillah Ya Allah... Aku sadar ini mimpi. Dan Engkau memberiku kesempatan emas ini meski dalam mimpi. Ini yang terindah dari apa yang Engkau kabulkan." Aku melakukannya seperti sudah biasa melakukannya. Alhamdulillah...
Di pertemuan kelas minggu ini, gue udah nitip beli rok sama temen sekelas gue, Wulan, di tanah abang. Berhubung hari Jumatnya dia cuti bersama, jadi belom bisa bawain minggu ini. "Gak papa. Masih ada minggu depan" pikir gue. Di weekday berikutnya, aku mengingatkan. "Lan, jangan lupa yak. Warna coklat kopi"
Aku memilih rok bahan spandex warna coklat, karna aku suka bawahan warna coklat. Warnanya lembut, hangat, dan penuh kasih sayang.
Daaannn.... Taa raaaaa!! Pertemuan Sabtu 15 Juni 2013, akhirnya gue menerima rok pertama gue dari tangannya Wulan, dan gue membayar cash langsung tanpa ditunda. Demi apapun, malam minggu ini, hal terindah adalah rok pertama gue sudah terlipat rapi di tas gue.
Sepulang kuliah sesampainya di rumah, gue langsung buru-buru menjajal penampilan baru gue. Dan gak sedikit juga waktu yang gue habiskan cuma sekedar petantang petenteng di depan kaca kamar gue. Bolak mandir kesana kemari, berputar putar bak model tahun 70an. Memantas-mantaskan atasan yang bakal cocok gue pake ke kampus besok pagi.
Gue pun keluar kamar dengan girangnya, pamer-pamer rok baru gue ke semua orang di rumah ini. Sambil berjoget ala tarian tango, atau tap dance, atau sesekali gue berjoget ala flamenco di depan kedua kakak dan adik gue yang lagi rebahan santai di depan tivi.
Dengan muka garfield adek gue bilang gini ke kakak gue, "Mbak, lu lupa beliin obat adek lu yak? Itu dia udah parah gitu"
Trus kakak gue komentarin gue yang sedang asik berjoget ria di depan mereka sambil bercandain keponakan gue, Hanif, "Dek, sejak kapan lu jadi cewek? Hayo ngaku, sejak kapan??"
Dengan penuh kebanggaan gue menjawab, "Dua menit yang lalu," mendramatisir.
Keesokan paginya, tepatnya Hari Minggu 16 Juni 2013. Ini kedua kali gue petantang petenteng di depan kaca kamar gue. Bolak mandir kesana kemari, berputar putar bak model tahun 70an. Memantas-mantaskan atasan yang bakal cocok gue pake ke kampus hari ini. Gua padankan dengan kaus oblong cokelat caramel gue plus cardigan jersey hitam. Segera lari ke dapur meminta pendapat mamak. "Gimana mak??" Sambil senyum-senyum kegirangan mirip kambing yang udah nemu rumput setelah puasa berhari-hari.
Dan ini komentar mamak gue, "Ora apik. Ojo grombzhongan ngono to. Sing mener nganggone. Ojo tirangkep rangkep ngono." (Ga bagus. Jangan kegombrongan kayak gitu. Yang bener make bajunya. Jangan dirangkep-rangkep kayak gitu)
Gue masuk kamar lagi. Dan mengganti atasan yang memang sudah gue siapin buat opsi kedua kalo emang kaos oblong gue malah bikin penampilan gue lebih mirip mbak-mbak komplek yang mau ke warung dibanding seorang mahasiswa yang mau berangkat ngampus.
"Taa... raaa!!! Gimana??" gue meminta pendapat kembali dengan berlari ke dapur untuk kedua kali.
Mamak gue mengernyitkan dahi, seolah-olah ada yang sedang ia timbang-timbang. "Nah, ini lebih mendingan. Tapi kayak orang mau ngaji. Ya tapi cakepan ini daripada tadi." Gue spontan meringis kegirangan. "Mirip anak pesantren," lanjut mamak. "Aamiin," gue jawab.
Bapak yang sedang berjalan ke arah ruang tamu sambil mengancing lengan kemejanya gak luput dari permintaan pendapat anaknya yang lagi girang satu ini. "Gimana pak??!" Eh Bapak gue cuma ketawa, trus melengos ke arah ruang tamu yang gak kliatan lagi bayangannya dari kamar gue.
"Segini burukkah penampilan gue hari ini??" pikir gue. "Ah, bodo. Apapun kata orang, maju terus."
Yak, setelah mendapat beberapa tanggapan ambigu dari keluarga gue, gak kalah seru sama komen temen-temen sesampainya gue di kampus.
Wulan : "gue kalo liat elu berasa pengen nyanyi, suasana di kota santri... lalalala~~~"
Devi : "Seharusnya lu pake kaos yang agak kecilan. Soalnya rok lu udah megar, kalo pake atasan gombrong kurang pantes."
Muay : "bagus eh, bagus. Kayak mau ngaji. hahhaha"
Imas : "Kayak ibu guru.. Iya, harusnya atasannya jangan gombrong lan.."
Bambang : "Eh, sitay. Lu lagi keabisan stock celana??!!!"
Dewi : "Sitay begitu buat pangerannya tuh.. Jiaaelaaahh.. Ngaku aja.."
Mimi : "Bagus kok. pantes"
Triya : "Gue tau tuh, lu berdiri di depan gitu sambil salting kan??"
Tutik : "hahhaa.. biar kayak bu haji..."
Mbak Ida : "kok tumben Lan make rok??"
Mbak Ira : "Wulaaaaann.. kok kamu pake rok siii?? Secara ya, seorang Wulan tuh yang woooowww.. Hebring, nyentrik, petakilan.. Bisa juga lu pake rok.... hahhaha"
Yah.. semua itu pendapat, yang bakal jadiin gue lebih baik lagi di kemudian hari. Semua itu langsung gue aminin kala gue mendapat celetukan yang menjurus ke arah doa terbaik buat gue.
Dan pagi ini di kantor, sepupu gue liat gue make rok komentar gini, "Itu rok apa sapu jalanan???!!!"
HHwwaaaaaakkkkk....... DDzzziiigggggg!!!!!
Sekian_
Kamis, 13 Juni 2013
Dunia Imajinasi Gue
by
Unknown
Dear pembaca setia gue. Entah ini ungkapan miris, bangga, atau sekedar ungkapan konyol. Tapi gue yakin setiap orang punya Dunia Imajinasi-nya masing-masing. Hanya saja, berbagai macam cara mereka memperlakukannya.
Sejak kecil gue udah punya dunia imajinasi yang malampaui batas. Sampe-sampe orang gak ngerti apa maksud gue dan apa maksud cerita gue tentang Dunia Imajinasi gue. Mungkin bagi sebagian orang "kaku" mengganggap ini konyol atau gak penting. Tapi yakin se yakin yakinnya, orang itu pasti juga punya Dunia Imajinasi sendiri. Bedanya sama gue, Dunia Imajinasi mereka dibiarkan begitu aja, berangsur-angsur mengering dan mati. Jadilah orang yang hidup dengan super realistis dan membosankan. Tapi masih banyak juga sebagian yang lainnya tetap memelihara Dunia Imajinasi mereka bahkan hingga tua. Dan mereka itu sebagian adalah seniman.
Bukannya gue mengelak tentang realistis dan realita hidup. Tapi ada baiknya Dunia Imajinasi tetap kita pelihara beriringan dengan Dunia Nyata kita.
Lihat para anak-anak jalanan yang sudah harus bekerja mencari koin-koin belas kasihan. Sebagian mereka yang dihancurkan Dunia Imajinasi-nya oleh para seniornya, pasti memiliki karakter yang selalu negatif thinking tentang sesuatu yang asing menghampirinya. Mereka cenderung lari sejauh jauhnya, dan kembali ke kelompok mereka yang super realistis itu.
Tapi lihat segelintir anak lagi yang tetap memutuskan Dunia Imajinasinya hidup di otaknya. Mereka punya banyak kemungkinan dan punya banyak cara menghadapi persoalan. Mereka menggunakan hati pada hal yang cenderung semakin membuat mereka berfikiran positif.
Pengecualian untuk orang yang sakit jiwa yaaa..
Dan mengenai Dunia Imajinasi gue, gue sadar betul lahir dari keluarga yang sangat sederhana. Dan berkat mimpi-mimpi yang ada di Dunia Imajinasi gue, gue berhasil menyandang siswa yang selalu memiliki NEM tinggi. Awalnya apa?? Mari kita flashback...
Dari kecil gue dan kakak gue dididik untuk pintar. Pintar ya, bukan Cerdas. Orang tua saat itu dalam keadaan ekonomi terhimpit, yang menyebabkan anak-anaknya harus mematikan energi Dunia Imajinasi-nya demi kepentingan bersama. Ya, kakak gue melakukannya. Dia jadi anak yang pintar, dan berprestasi. Tapi gak cerdas. Sebab apa? Dia mematikan Dunia Imajinasinya. Sekarang dia terjebak di Dunia Nyata-nya, dan terlalu pahit untuk berfikir kembali ke Dunia Imajinasi-nya yang udah mati. Dia korbankan mimpi-mimpinya, demi gue, adiknya. Dan itu adalah tuntutan setiap anak di keluarga kami. Ditambah lagi, kami semua perempuan yang harus dijaga ekstra hati-hati. Segala jenis peraturan diterapkan. Dari gak boleh pacaran pas masih sekolah, gak boleh nonton bioskop, gak boleh punya handphone, pulang sekolah harus langsung pulang, nilai-nilai di buku tulis gak boleh ada yang dibawah 6, sampe gak pernah ada kata terlambat sekolah sekali pun. Bukannya gue bilang itu semua gak baik. Itu semua mendidik. Bahkan sampe sekarang gue ngerasain gunanya didikan-didikan keras itu. Menjadikan gue dan kakak gue anak yang pintar, berprestasi, dan dikenal. Dan gue sampe punya pikiran, "Kalo gue gak belajar, gue dapet nilai jelek, trus rapot gue jelek, trus gue jadi anak yang semakin males belajar, trus gak lulus sekolah, lulus pun gak ada yang mau nerima gue kerja di perusahaannya. Trus kalo gue pengangguran, gue bakalan jadi gelandangan yang hidup di jalanan, gak punya rumah, tidur di tempat kotor bareng serangga-serangga menjijikkan. Mau kuliah setelah lulus sekolah?? Gak mungkin, gak ada biaya. Nah, gelandangan kayak gue yang gak mau idup susah, paling-paling larinya jadi copet atau penjahat. Nah, kalo udah gitu gue bakalan jadi buronan polisi, dan bisa dipastikan tempat yang paling cocok buat gue adalah penjara" Damn for that fact!!! fffyyiiiuuuuuuhhhh...
Sebab gue terlalu cinta sama Dunia Imajinasi gue, gue hidup di dua dunia sekaligus. Menghadapi persoalan-persoalan dari kedua sudut dunia yang gue punya. Gue memang senang menilai karakter orang lain dari kecil. Dia orangnya begini, dia orangnya begitu. Tapi sampe sekarang gue sulit mengungkapkannya dengan kata yang tepat. Gue belajar memahami dari pengalaman orang-orang sekitar gue. Menilai mana yang baik, mana yang buruk, mana yang menguntungkan buat diri gue, dan mana yang bisa membuat gue lebih baik.
Dari kakak gue, gue belajar bagaimana berkorban, mengalah, memprioritaskan kepentingan orang lain, dan membahagiakan orang tua. Dari Bapak gue, gue belajar ketegasan, keberanian, kebijaksanaan, tanggung jawab, dan profesional. Dari Mamak gue, gue belajar merawat, mendidik, berkasih sayang, memafkan, kejujuran, sabar, tegar, dan pantang menyerah. Dari adik gue, gue belum belajar banyak dari dia. Tapi semoga saja dia juga mengikuti jejak gue untuk belajar kehidupan dari orang lain. Itu semua diolah dalam Dunia Imajinasi gue. Gue membiarkan semua itu matang dalam Dunia Imajinasi.
Tapi seiring bertambahnya usia dan kepahitmanisan hidup yang udah gue alamin, gue merasa hampir melupakan Dunia Imajinasi gue yang paling perfect. Pelan-pelan, dunia gue itu mengeras seperti terbalut jelly dingin. Gue berusaha untuk tidak benar-benar melupakan. Gue takut bakalan kayak kakak gue, yang enggan bermimpi karna dia tau Dunia Imajinasi-nya mati.
Dan ini adalah apresiasi yang pengen banget gue kasih buat temen gue, Ujang alias Uje alias Tian. Yaaa.. Siapapun namanya. Dialah orang paling berbakat dalam me-maintain sebuah Dunia Imajinasi. Bahkan dia berhasil mendongkrak kembali energi Dunia Imajinasi milik gue. Gue mulai concern juga me-maintain Dunia Imajinasi gue. Berusaha mendapatkan porsi lebih dari 24 jam sehari yang gue punya. Bahkan, gak jarang juga gue sama Ujang membangun sebuah Negeri Imajinasi sendiri. Hanya gue sama dia yang mengerti setiap alurnya. Dan temanku yang lain, yang mungkin Dunia Imajinasi-nya sudah mulai mengering, hanya bisa menatap aneh sama kelakuan kita berdua kalo udah masuk ke Negeri Imajinasi yang kita berdua buat.
Dan sampai usia gue ke-20 tahun ini, dalam sendiri, gue masih aja seru sama cerita-cerita di otak gue. Gue mendapatkan sebuah dunia yang terbentuk dari apa yang waktu kecil benar-benar gue suka. Banyak tokoh. Seperti Power Ranger, Barbie, Princess and Prince Disney. Dan latar tempat mirip seperti sebuah dongeng, atau drama serial anak-anak. Alur tetap sama. Gue sebagai pemeran utama dari banyak kisah yang terjadi di Dunia Imajinasi gue. Dan so pasti, Dunia Imajinasi gue ini tertumpahkan pada dimensi nyata, yang karakter tokoh dan plotnya secara kebetulan mirip dengan apa yang gue ciptakan di otak gue. Mirisnya, gak banyak orang mengerti dengan cerita yang gue tumpahkan, atau sebutan sebuah tokoh untuk seseorang di dunia nyata. Mereka menampik, dan akibatnya gue jarang menumpahkan ke orang lain. Kecuali mereka yang menurut sinyal gue, memiliki Dunia Imajinasi yang hidup seperti gue. Tapi gue tetep jadi orang yang realistis, dan gue juga jadi seorang pemimpi ulung yang memiliki negeri di otaknya.
Banyak mimpi yang menurut gue gak mungkin terjadi di Dunia Nyata gue, dan gue menempatkan hal tersebut ke Dunia Imajinasi. Sebab, cuma di Dunia Imajinasi mereka dapat benar-benar hidup. Ini cara gue menghindari frustasi dan stres berkepanjangan. Gue melakukan yang terbaik di Dunia Nyata sesuai dengan apa yang diperintahkan "gue" di Dunia Imajinasi ke "gue" di Dunia Nyata. Sebab, sejauh ini "gue" di Dunia Imajinasi lebih dulu tau alur yang seperti apa yang paling baik gue jalanin.
Gue terlahir dengan gemar menyanyi. Dan di Dunia Imajinasi gue, gue adalah seorang penyanyi terkenal.
Gue pengen punya rumah di pinggir pantai. Dan di Dunia Imajinasi gue, rumah itu nyata lengkap dengan detil ruangan-ruangannya.
Gue pengen jadi wanita hero buat rakyatnya. Dan di Dunia Imajinasi gue, gue adalah seorang anak raja yang berusaha menumpas kejahatan dan membela kebenaran.
Gue pengen punya waterpark sendiri. Di Dunia Imajinasi gue, terpampang jelas waterpark yang magical banget buat para pengunjungnya. Sampe design nya gue hafal, karna sebagai pengusaha taman hiburan, minimal seminggu sekali gue kunjungin waterpark milik gue itu.
Gue pengen punya rumah makan sederhana bersama orang tua gue. Dan di Dunia Imajinasi gue, sudah tersebar 50 cabang rumah makan sederhana yang ada di setiap terminal, daerah perkantoran, daerah industri, dan daerah wisata. Gue melihat sendiri betapa banyak orang yang makan di rumah makan milik gue dan orang tua gue itu.
Gue pengen punya kekuatan membaca pikiran dan hati orang lain, mengendalikan perasaan, dan mengontrol objek. Dan di Dunia Imajinasi gue, gue punya itu semua. Tapi untuk yang satu ini agak lebay kalo buat direalisasiin di Dunia Nyata... hahhaha
Dari segelintir mimpi-mimpi gue itu, akan memacu gue untuk menjadikannya nyata. Dan beberapa diantaranya benar-benar berhasil dan membuat gue semakin percaya dengan apa yang ada di Dunia Imajinasi gue itu. Ini bener-bener magic dan gue alamin sendiri. Meskipun baru hal-hal kecil yang sudah terealisasi, ini gak mematahkan fakta bahwa Dunia Imajinasi gue hidup dan menghidupkan Dunia Nyata gue.
Dan yang masih gue ragu untuk menempatkan mimpi gue yang satu ini di Dunia Imajinasi gue, adalah seseorang yang gue pengen banget jadi pendamping hidup gue kelak. <<<< yaaaahhh.... galaaauuuuu....... Ngeri bakal jadi obsesi, kalo gak kesampean jadi gila.... <<<< biasanya cinta emang sering bisa bikin gila kalo kita gak sering-sering mendekatkan diri sama Allah.
So, guys... Jangan biarkan Dunia Imajinasi kalian mengering dan mati. Hidupkan!!!
Sejak kecil gue udah punya dunia imajinasi yang malampaui batas. Sampe-sampe orang gak ngerti apa maksud gue dan apa maksud cerita gue tentang Dunia Imajinasi gue. Mungkin bagi sebagian orang "kaku" mengganggap ini konyol atau gak penting. Tapi yakin se yakin yakinnya, orang itu pasti juga punya Dunia Imajinasi sendiri. Bedanya sama gue, Dunia Imajinasi mereka dibiarkan begitu aja, berangsur-angsur mengering dan mati. Jadilah orang yang hidup dengan super realistis dan membosankan. Tapi masih banyak juga sebagian yang lainnya tetap memelihara Dunia Imajinasi mereka bahkan hingga tua. Dan mereka itu sebagian adalah seniman.
Bukannya gue mengelak tentang realistis dan realita hidup. Tapi ada baiknya Dunia Imajinasi tetap kita pelihara beriringan dengan Dunia Nyata kita.
Lihat para anak-anak jalanan yang sudah harus bekerja mencari koin-koin belas kasihan. Sebagian mereka yang dihancurkan Dunia Imajinasi-nya oleh para seniornya, pasti memiliki karakter yang selalu negatif thinking tentang sesuatu yang asing menghampirinya. Mereka cenderung lari sejauh jauhnya, dan kembali ke kelompok mereka yang super realistis itu.
Tapi lihat segelintir anak lagi yang tetap memutuskan Dunia Imajinasinya hidup di otaknya. Mereka punya banyak kemungkinan dan punya banyak cara menghadapi persoalan. Mereka menggunakan hati pada hal yang cenderung semakin membuat mereka berfikiran positif.
Pengecualian untuk orang yang sakit jiwa yaaa..
Dan mengenai Dunia Imajinasi gue, gue sadar betul lahir dari keluarga yang sangat sederhana. Dan berkat mimpi-mimpi yang ada di Dunia Imajinasi gue, gue berhasil menyandang siswa yang selalu memiliki NEM tinggi. Awalnya apa?? Mari kita flashback...
Dari kecil gue dan kakak gue dididik untuk pintar. Pintar ya, bukan Cerdas. Orang tua saat itu dalam keadaan ekonomi terhimpit, yang menyebabkan anak-anaknya harus mematikan energi Dunia Imajinasi-nya demi kepentingan bersama. Ya, kakak gue melakukannya. Dia jadi anak yang pintar, dan berprestasi. Tapi gak cerdas. Sebab apa? Dia mematikan Dunia Imajinasinya. Sekarang dia terjebak di Dunia Nyata-nya, dan terlalu pahit untuk berfikir kembali ke Dunia Imajinasi-nya yang udah mati. Dia korbankan mimpi-mimpinya, demi gue, adiknya. Dan itu adalah tuntutan setiap anak di keluarga kami. Ditambah lagi, kami semua perempuan yang harus dijaga ekstra hati-hati. Segala jenis peraturan diterapkan. Dari gak boleh pacaran pas masih sekolah, gak boleh nonton bioskop, gak boleh punya handphone, pulang sekolah harus langsung pulang, nilai-nilai di buku tulis gak boleh ada yang dibawah 6, sampe gak pernah ada kata terlambat sekolah sekali pun. Bukannya gue bilang itu semua gak baik. Itu semua mendidik. Bahkan sampe sekarang gue ngerasain gunanya didikan-didikan keras itu. Menjadikan gue dan kakak gue anak yang pintar, berprestasi, dan dikenal. Dan gue sampe punya pikiran, "Kalo gue gak belajar, gue dapet nilai jelek, trus rapot gue jelek, trus gue jadi anak yang semakin males belajar, trus gak lulus sekolah, lulus pun gak ada yang mau nerima gue kerja di perusahaannya. Trus kalo gue pengangguran, gue bakalan jadi gelandangan yang hidup di jalanan, gak punya rumah, tidur di tempat kotor bareng serangga-serangga menjijikkan. Mau kuliah setelah lulus sekolah?? Gak mungkin, gak ada biaya. Nah, gelandangan kayak gue yang gak mau idup susah, paling-paling larinya jadi copet atau penjahat. Nah, kalo udah gitu gue bakalan jadi buronan polisi, dan bisa dipastikan tempat yang paling cocok buat gue adalah penjara" Damn for that fact!!! fffyyiiiuuuuuuhhhh...
Sebab gue terlalu cinta sama Dunia Imajinasi gue, gue hidup di dua dunia sekaligus. Menghadapi persoalan-persoalan dari kedua sudut dunia yang gue punya. Gue memang senang menilai karakter orang lain dari kecil. Dia orangnya begini, dia orangnya begitu. Tapi sampe sekarang gue sulit mengungkapkannya dengan kata yang tepat. Gue belajar memahami dari pengalaman orang-orang sekitar gue. Menilai mana yang baik, mana yang buruk, mana yang menguntungkan buat diri gue, dan mana yang bisa membuat gue lebih baik.
Dari kakak gue, gue belajar bagaimana berkorban, mengalah, memprioritaskan kepentingan orang lain, dan membahagiakan orang tua. Dari Bapak gue, gue belajar ketegasan, keberanian, kebijaksanaan, tanggung jawab, dan profesional. Dari Mamak gue, gue belajar merawat, mendidik, berkasih sayang, memafkan, kejujuran, sabar, tegar, dan pantang menyerah. Dari adik gue, gue belum belajar banyak dari dia. Tapi semoga saja dia juga mengikuti jejak gue untuk belajar kehidupan dari orang lain. Itu semua diolah dalam Dunia Imajinasi gue. Gue membiarkan semua itu matang dalam Dunia Imajinasi.
Tapi seiring bertambahnya usia dan kepahitmanisan hidup yang udah gue alamin, gue merasa hampir melupakan Dunia Imajinasi gue yang paling perfect. Pelan-pelan, dunia gue itu mengeras seperti terbalut jelly dingin. Gue berusaha untuk tidak benar-benar melupakan. Gue takut bakalan kayak kakak gue, yang enggan bermimpi karna dia tau Dunia Imajinasi-nya mati.
Dan ini adalah apresiasi yang pengen banget gue kasih buat temen gue, Ujang alias Uje alias Tian. Yaaa.. Siapapun namanya. Dialah orang paling berbakat dalam me-maintain sebuah Dunia Imajinasi. Bahkan dia berhasil mendongkrak kembali energi Dunia Imajinasi milik gue. Gue mulai concern juga me-maintain Dunia Imajinasi gue. Berusaha mendapatkan porsi lebih dari 24 jam sehari yang gue punya. Bahkan, gak jarang juga gue sama Ujang membangun sebuah Negeri Imajinasi sendiri. Hanya gue sama dia yang mengerti setiap alurnya. Dan temanku yang lain, yang mungkin Dunia Imajinasi-nya sudah mulai mengering, hanya bisa menatap aneh sama kelakuan kita berdua kalo udah masuk ke Negeri Imajinasi yang kita berdua buat.
Dan sampai usia gue ke-20 tahun ini, dalam sendiri, gue masih aja seru sama cerita-cerita di otak gue. Gue mendapatkan sebuah dunia yang terbentuk dari apa yang waktu kecil benar-benar gue suka. Banyak tokoh. Seperti Power Ranger, Barbie, Princess and Prince Disney. Dan latar tempat mirip seperti sebuah dongeng, atau drama serial anak-anak. Alur tetap sama. Gue sebagai pemeran utama dari banyak kisah yang terjadi di Dunia Imajinasi gue. Dan so pasti, Dunia Imajinasi gue ini tertumpahkan pada dimensi nyata, yang karakter tokoh dan plotnya secara kebetulan mirip dengan apa yang gue ciptakan di otak gue. Mirisnya, gak banyak orang mengerti dengan cerita yang gue tumpahkan, atau sebutan sebuah tokoh untuk seseorang di dunia nyata. Mereka menampik, dan akibatnya gue jarang menumpahkan ke orang lain. Kecuali mereka yang menurut sinyal gue, memiliki Dunia Imajinasi yang hidup seperti gue. Tapi gue tetep jadi orang yang realistis, dan gue juga jadi seorang pemimpi ulung yang memiliki negeri di otaknya.
Banyak mimpi yang menurut gue gak mungkin terjadi di Dunia Nyata gue, dan gue menempatkan hal tersebut ke Dunia Imajinasi. Sebab, cuma di Dunia Imajinasi mereka dapat benar-benar hidup. Ini cara gue menghindari frustasi dan stres berkepanjangan. Gue melakukan yang terbaik di Dunia Nyata sesuai dengan apa yang diperintahkan "gue" di Dunia Imajinasi ke "gue" di Dunia Nyata. Sebab, sejauh ini "gue" di Dunia Imajinasi lebih dulu tau alur yang seperti apa yang paling baik gue jalanin.
Gue terlahir dengan gemar menyanyi. Dan di Dunia Imajinasi gue, gue adalah seorang penyanyi terkenal.
Gue pengen punya rumah di pinggir pantai. Dan di Dunia Imajinasi gue, rumah itu nyata lengkap dengan detil ruangan-ruangannya.
Gue pengen jadi wanita hero buat rakyatnya. Dan di Dunia Imajinasi gue, gue adalah seorang anak raja yang berusaha menumpas kejahatan dan membela kebenaran.
Gue pengen punya waterpark sendiri. Di Dunia Imajinasi gue, terpampang jelas waterpark yang magical banget buat para pengunjungnya. Sampe design nya gue hafal, karna sebagai pengusaha taman hiburan, minimal seminggu sekali gue kunjungin waterpark milik gue itu.
Gue pengen punya rumah makan sederhana bersama orang tua gue. Dan di Dunia Imajinasi gue, sudah tersebar 50 cabang rumah makan sederhana yang ada di setiap terminal, daerah perkantoran, daerah industri, dan daerah wisata. Gue melihat sendiri betapa banyak orang yang makan di rumah makan milik gue dan orang tua gue itu.
Gue pengen punya kekuatan membaca pikiran dan hati orang lain, mengendalikan perasaan, dan mengontrol objek. Dan di Dunia Imajinasi gue, gue punya itu semua. Tapi untuk yang satu ini agak lebay kalo buat direalisasiin di Dunia Nyata... hahhaha
Dari segelintir mimpi-mimpi gue itu, akan memacu gue untuk menjadikannya nyata. Dan beberapa diantaranya benar-benar berhasil dan membuat gue semakin percaya dengan apa yang ada di Dunia Imajinasi gue itu. Ini bener-bener magic dan gue alamin sendiri. Meskipun baru hal-hal kecil yang sudah terealisasi, ini gak mematahkan fakta bahwa Dunia Imajinasi gue hidup dan menghidupkan Dunia Nyata gue.
Dan yang masih gue ragu untuk menempatkan mimpi gue yang satu ini di Dunia Imajinasi gue, adalah seseorang yang gue pengen banget jadi pendamping hidup gue kelak. <<<< yaaaahhh.... galaaauuuuu....... Ngeri bakal jadi obsesi, kalo gak kesampean jadi gila.... <<<< biasanya cinta emang sering bisa bikin gila kalo kita gak sering-sering mendekatkan diri sama Allah.
So, guys... Jangan biarkan Dunia Imajinasi kalian mengering dan mati. Hidupkan!!!
Senin, 10 Juni 2013
Hubungan Gue - Ras Elf - dan Super Elf
by
Unknown
Dear all para pembaca setia gue... Ini tulisan tentang apa yang menjadi perhatian dan sorotan mata gue akhir-akhir ini.
Cuma mau kasih bocoran sedikit. Akhir-akhir ini gue lagi rajin baca-baca novel ber-genre apa aja. Sebagai pengisi waktu luang pas di busway (selain tidur). Ya, emang gak dipungkiri juga supaya keliatan keren sebagai cewek cantik berkaca mata merah maroon dengan tas ransel merah maroon yang selalu bawa-bawa benda bacaan di tangannya. Hhahahaha.. Takabbur banget sih gue... Skip with this!!
Tujuan gue selanjutnya kenapa gue rajin banget baca novel, karna pengen beuuddhh (banget : 4l4y's language) punya novel karangan sendiri. Sebenernya agak dibilang telat juga sih. Dengan umur gue yang udah De U A Pe U El U Ha Te A Ha U En dan masih cantik ini, masih kalah jauh dibandingkan adek-adek kelas gue yang karyanya udah dipajang di toko buku gramedia. Oh, Gawd!! What a shame of me!!
Emang dari jaman Esde gue mahir dalam belajar karang mengarang. Suka banget nulis puisi di secarik kertas, atau di halaman belakang setiap buku tulis gue. Masih inget banget, waktu diminta ngisi orji (itu loh, biodata diri yang suka diminta sama temen sekelas waktu SD yang isinya makanan kesukaan, minuman kesukaan, idola, zodiak, moto hidup dan teman-temannya) gue malah nulis sepenggal cerita hidup tentang gue dan dia yang diperankan oleh nama lain yang gue karang supaya menyamarkan kalo itu Gue dan Dia dan sengaja gue bikin bersambung dengan niatan "jika sepuluh tahun yang akan datang kita bertemu kembali, aku akan berikan sepenggal cerita berikutnya supaya menjadi satu kesatuan cerita tentang KITA". Nah kan!! jaman Esde aja gue udah mikir begitu.
Trus, kertas demi kertas berisikan puisi karya gue yang sekarang entah kemana, hilang, dan ini membuat gue nyesel banget. Seandainya gue dulu punya buku diary atau berpikiran punya buku diary atau minimal gue kumpulin karya-karya gue, mungkin sekarang buku puisi gue udah bertengger manis di rak-rak toko buku gramedia.
Sampe waktu General Test buat kelulusan Esde, di lembar kertas buram yang harusnya buat coret-coretan itungan matematika, malah gua tulisin puisi panjang banget, inget banget judulnya Kapas Putih tentang detik-detik perpisahan sama temen-temen gue, tapi lupa isinya. Ya, karna gue waktu itu berfikir, kenapa bisa judulnya Kapas Putih ya? emang ada kapas lain selain putih? Dan selang beberapa meter keluar dari SMP 253 (lokasi General Test) gue ngeliat pohon kapuk trus gue unjukin temen gue dan dia bilang "Eh, ati-ati. biasanya kalo di pohon kapuk banyak genderuwonya tau!!" Gak nyambung sih ya,, tapi.. yasudahlah....
Nah, temen gue, Nurul, ngasih gue kado ultah ke 20 gue berupa Novel "Divergent". Dia ngebet banget pengen beliin gue Novel. Katanya sih dalam rangka, "menggelorakan semangat membaca anak muda". Dia pengen banget ngajak temen-temennya supaya rajin baca.
Sebelum ini sih gue baca beberapa novel. Tapi ya sekedar baca, tau cerita, selesai, udah. Gak ada passion sama sekali buat "baca judul yang lain lagi" atau "terusin baca yang seri lanjutannya" atau "baca di setiap ada waktu luang".
Dan semenjak "Divergent" hadir di hidup gue, gue mulai bisa merasakan menjadi salah satu dari tokoh di dalam novel. Dan gue mulai haus akan novel-novel apa yang bakalan gue baca setelah satu novel gue habisi. Ya, dan tentunya berbeda novel, berbeda pulalah karakter yang merasuk ke roh gue, yang membuat gue berpikiran atau sedikit bergaya layaknya tokoh di novel dalam dunia realita gue.
Dan semenjak itu, naluri lahiriah gue hadir kembali. Ya, menulis. Apapun. Karangan, puisi, dan berhubung gue udah punya leptop, semua karya gue, gue tulis di leptop. Seolah-olah leptop adalah buku diary gue. Gue memulainya dengan menuliskan kisah pribadi dan pengalaman gue. Dan harus benar-benar menggali ingatan di setiap selipan impuls-impuls otak gue untuk bisa sekedar mengingat detil kejadian yang mau gue tumpahkan ke dalam draft novel gue.
Novel pertama gue niatnya pengen gue bikin berseri. Dan ini memakan banyak waktu. Sampe hari ini masih berupa draft yang gue sendiri juga bingung kapan fokus untuk menghasilkan 5 lembar kisah dalam satu waktu. Masih terasa sulit buat gue yang super sibuk karna harus kerja Senin-Jumat dan kuliah di Sabtu-Minggu nya.
Novel kedua gue tentang hero-hero yang pernah hadir di hidup gue. Dan bakal gue bikin super mengharukan, karna gue sendiri sampe nangis juga kalo inget tentang hero-hero di hidup gue. Dan... ta daaa.. Yang menjadikan gue seperti ini, ya bukan lain dan bukan main adalah mereka. Tapi ini juga masih draft.
Novel ketiga gue agak fiksi sih. Dan ini hasil pertemuan gue dengan salah satu elf yang selalu hadir di setiap mimpi-mimpi gue. Selama ini setiap imajinasi gue datang dan pergi begitu aja. Padahal kalo gue tumpahkan dalam tulisan, pasti hargannya sebanding buat bikin rumah di pinggir pantai.
Mengenai elf, gue penasaran sama bukunya Tolkien. Dikatakan bahwa ciri-ciri fisik mereka tinggi, langsing, berambut hitam dan rupawan. Dari beberapa pendapat, dikatakan juga keturunan elf dan manusia banyak lahir namun tidak prnah diketahui keberadaannya, karna ras elf selalu merahasiakan keberadaan mereka.
Gue jadi berfikir, apa gue keturunan darah campuran ya??
Atau, cowok-cowok yang gue taksir, mereka keturunan elf dan juga darah campuran?
Kesampingkan kondisi fisik orangtuanya. Bisa jadi saat dilahirkan, elf menukar bayi asli dengan bayi mereka. Tapi gak sembarang orang yang dipercaya merawat bayi mereka. Hanya keluarga baik-baik yang bisa dapet kesempatan itu. Karna sifat asli elf cinta damai penuh kasih.
Kenapa gue berfikir gue keturunan elf? Dari kecil, gue suka banget ilmu perbintangan. Dari nama-nama rasi bintang sampe ramalan bintang, gue suka banget. Boleh ditanya ke mamak gue, apa cita-cita gue waktu kecil? Astronot. Ya astronot. Sampe sekarang pun, walaupun gue lagi suka banget nulis, tapi kalo NASA udah ikrarin gue untuk berangkat ke Capella atau Aldebaran gue siap!! Tanpa berpikir lama-lama. Meskipun orang tua gue cuma ketawa geli denger gue bilang begitu. Tapi ada kemiripan di sini. Para elf juga identik dengan bintang atau sinar bintang. Kebetulan yang super sekalihh..
Pokoknya, pertemuan gue sama elf yang gue sebut Zega, dan persahabatan gue dengan darah campuran sama seperti gue yang gue sebut Eskas, kali ini gak bakalan gue sia-siain menguap ke udara begitu aja. Harus ada catatan sejarah penting dari karya Novel ketiga gue yang gue kasih judul "Super Elf" ini.
Dan biasanya gue juga suka menceritakan ini di akun facebook gue. Karna pas imajinasi briliant gue dateng, gue gak selalu di deket leptop gue. Jadi biar gak lupa, gue posting di status facebook gue pake Unicorn (handphone baru gue yang warnanya white gold mirip Unicorn, dan akan selalu gue sebut begitu).
Ya ampun, gue msh terkesima sama ras elf. Masih butuh banyak referensi buat Super Elf gue. Termasuk novel karya Tolkien itu.
Etapi bukan "Elf" nya SUJU juga yang lagi dibahas.. -____-"
Mmm... Sekian...
Cuma mau kasih bocoran sedikit. Akhir-akhir ini gue lagi rajin baca-baca novel ber-genre apa aja. Sebagai pengisi waktu luang pas di busway (selain tidur). Ya, emang gak dipungkiri juga supaya keliatan keren sebagai cewek cantik berkaca mata merah maroon dengan tas ransel merah maroon yang selalu bawa-bawa benda bacaan di tangannya. Hhahahaha.. Takabbur banget sih gue... Skip with this!!
Tujuan gue selanjutnya kenapa gue rajin banget baca novel, karna pengen beuuddhh (banget : 4l4y's language) punya novel karangan sendiri. Sebenernya agak dibilang telat juga sih. Dengan umur gue yang udah De U A Pe U El U Ha Te A Ha U En dan masih cantik ini, masih kalah jauh dibandingkan adek-adek kelas gue yang karyanya udah dipajang di toko buku gramedia. Oh, Gawd!! What a shame of me!!
Emang dari jaman Esde gue mahir dalam belajar karang mengarang. Suka banget nulis puisi di secarik kertas, atau di halaman belakang setiap buku tulis gue. Masih inget banget, waktu diminta ngisi orji (itu loh, biodata diri yang suka diminta sama temen sekelas waktu SD yang isinya makanan kesukaan, minuman kesukaan, idola, zodiak, moto hidup dan teman-temannya) gue malah nulis sepenggal cerita hidup tentang gue dan dia yang diperankan oleh nama lain yang gue karang supaya menyamarkan kalo itu Gue dan Dia dan sengaja gue bikin bersambung dengan niatan "jika sepuluh tahun yang akan datang kita bertemu kembali, aku akan berikan sepenggal cerita berikutnya supaya menjadi satu kesatuan cerita tentang KITA". Nah kan!! jaman Esde aja gue udah mikir begitu.
Trus, kertas demi kertas berisikan puisi karya gue yang sekarang entah kemana, hilang, dan ini membuat gue nyesel banget. Seandainya gue dulu punya buku diary atau berpikiran punya buku diary atau minimal gue kumpulin karya-karya gue, mungkin sekarang buku puisi gue udah bertengger manis di rak-rak toko buku gramedia.
Sampe waktu General Test buat kelulusan Esde, di lembar kertas buram yang harusnya buat coret-coretan itungan matematika, malah gua tulisin puisi panjang banget, inget banget judulnya Kapas Putih tentang detik-detik perpisahan sama temen-temen gue, tapi lupa isinya. Ya, karna gue waktu itu berfikir, kenapa bisa judulnya Kapas Putih ya? emang ada kapas lain selain putih? Dan selang beberapa meter keluar dari SMP 253 (lokasi General Test) gue ngeliat pohon kapuk trus gue unjukin temen gue dan dia bilang "Eh, ati-ati. biasanya kalo di pohon kapuk banyak genderuwonya tau!!" Gak nyambung sih ya,, tapi.. yasudahlah....
Nah, temen gue, Nurul, ngasih gue kado ultah ke 20 gue berupa Novel "Divergent". Dia ngebet banget pengen beliin gue Novel. Katanya sih dalam rangka, "menggelorakan semangat membaca anak muda". Dia pengen banget ngajak temen-temennya supaya rajin baca.
Sebelum ini sih gue baca beberapa novel. Tapi ya sekedar baca, tau cerita, selesai, udah. Gak ada passion sama sekali buat "baca judul yang lain lagi" atau "terusin baca yang seri lanjutannya" atau "baca di setiap ada waktu luang".
Dan semenjak "Divergent" hadir di hidup gue, gue mulai bisa merasakan menjadi salah satu dari tokoh di dalam novel. Dan gue mulai haus akan novel-novel apa yang bakalan gue baca setelah satu novel gue habisi. Ya, dan tentunya berbeda novel, berbeda pulalah karakter yang merasuk ke roh gue, yang membuat gue berpikiran atau sedikit bergaya layaknya tokoh di novel dalam dunia realita gue.
Dan semenjak itu, naluri lahiriah gue hadir kembali. Ya, menulis. Apapun. Karangan, puisi, dan berhubung gue udah punya leptop, semua karya gue, gue tulis di leptop. Seolah-olah leptop adalah buku diary gue. Gue memulainya dengan menuliskan kisah pribadi dan pengalaman gue. Dan harus benar-benar menggali ingatan di setiap selipan impuls-impuls otak gue untuk bisa sekedar mengingat detil kejadian yang mau gue tumpahkan ke dalam draft novel gue.
Novel pertama gue niatnya pengen gue bikin berseri. Dan ini memakan banyak waktu. Sampe hari ini masih berupa draft yang gue sendiri juga bingung kapan fokus untuk menghasilkan 5 lembar kisah dalam satu waktu. Masih terasa sulit buat gue yang super sibuk karna harus kerja Senin-Jumat dan kuliah di Sabtu-Minggu nya.
Novel kedua gue tentang hero-hero yang pernah hadir di hidup gue. Dan bakal gue bikin super mengharukan, karna gue sendiri sampe nangis juga kalo inget tentang hero-hero di hidup gue. Dan... ta daaa.. Yang menjadikan gue seperti ini, ya bukan lain dan bukan main adalah mereka. Tapi ini juga masih draft.
Novel ketiga gue agak fiksi sih. Dan ini hasil pertemuan gue dengan salah satu elf yang selalu hadir di setiap mimpi-mimpi gue. Selama ini setiap imajinasi gue datang dan pergi begitu aja. Padahal kalo gue tumpahkan dalam tulisan, pasti hargannya sebanding buat bikin rumah di pinggir pantai.
Mengenai elf, gue penasaran sama bukunya Tolkien. Dikatakan bahwa ciri-ciri fisik mereka tinggi, langsing, berambut hitam dan rupawan. Dari beberapa pendapat, dikatakan juga keturunan elf dan manusia banyak lahir namun tidak prnah diketahui keberadaannya, karna ras elf selalu merahasiakan keberadaan mereka.
Gue jadi berfikir, apa gue keturunan darah campuran ya??
Atau, cowok-cowok yang gue taksir, mereka keturunan elf dan juga darah campuran?
Kesampingkan kondisi fisik orangtuanya. Bisa jadi saat dilahirkan, elf menukar bayi asli dengan bayi mereka. Tapi gak sembarang orang yang dipercaya merawat bayi mereka. Hanya keluarga baik-baik yang bisa dapet kesempatan itu. Karna sifat asli elf cinta damai penuh kasih.
Kenapa gue berfikir gue keturunan elf? Dari kecil, gue suka banget ilmu perbintangan. Dari nama-nama rasi bintang sampe ramalan bintang, gue suka banget. Boleh ditanya ke mamak gue, apa cita-cita gue waktu kecil? Astronot. Ya astronot. Sampe sekarang pun, walaupun gue lagi suka banget nulis, tapi kalo NASA udah ikrarin gue untuk berangkat ke Capella atau Aldebaran gue siap!! Tanpa berpikir lama-lama. Meskipun orang tua gue cuma ketawa geli denger gue bilang begitu. Tapi ada kemiripan di sini. Para elf juga identik dengan bintang atau sinar bintang. Kebetulan yang super sekalihh..
Pokoknya, pertemuan gue sama elf yang gue sebut Zega, dan persahabatan gue dengan darah campuran sama seperti gue yang gue sebut Eskas, kali ini gak bakalan gue sia-siain menguap ke udara begitu aja. Harus ada catatan sejarah penting dari karya Novel ketiga gue yang gue kasih judul "Super Elf" ini.
Dan biasanya gue juga suka menceritakan ini di akun facebook gue. Karna pas imajinasi briliant gue dateng, gue gak selalu di deket leptop gue. Jadi biar gak lupa, gue posting di status facebook gue pake Unicorn (handphone baru gue yang warnanya white gold mirip Unicorn, dan akan selalu gue sebut begitu).
Ya ampun, gue msh terkesima sama ras elf. Masih butuh banyak referensi buat Super Elf gue. Termasuk novel karya Tolkien itu.
Etapi bukan "Elf" nya SUJU juga yang lagi dibahas.. -____-"
Mmm... Sekian...
Jumat, 07 Juni 2013
Negeri Seribu Mimpi
by
Unknown
Aku hidup pada awalnya lebih dari menutup diri. Meski saat ini pun masih, tapi aku tau jika alangkah lebih baik bangun dan lihat kenyataan.
"negeri seribu mimpi"
Kenapa tidak sejuta atau tidak semilyar? Ibarat uang, jaman sekarang seribu hanya dapat permen 7 buah. Seribu itu tidak banyak, tapi cukup sulit bagi ukuran mimpi. Terkadang satu mimpi saja sampai harus mengorbankan hati dan pikiran yang sangat rumit.
Aku kumpulkan satu persatu mimpi dalam sebuah kotak bernama "Harapan". Agar lebih indah, aku selalu menghiasnya dengan Doa dan untaian kasih. Meskipun begitu aku biarkan kotak itu terbalut luka, kecewa, amarah, bahkan keputusasaan selalu hadir dan membuat lubang-lubang kecil pada kotakku.
Suatu waktu, satu persatu. Malam demi malam, hari demi hari, Bahkan bulan segan untuk nampak. Karna aku sendiri kecewa dan putus asa, tak ada satu pun mimpi yang kusimpan dalam kotak "Harapan" yang berani mendesak keluar dari kotak dan tumbuh bersama denganku.
"Kotak bodoh!!" pikirku.
Seketika mentari seperti sengaja menyilaukan mataku sampai sakit. Aku kesal. Dan mulai hari itu aku tak akan keluar rumah, dan bertemu mentari jelek, yang kerjanya hanya menggangguku. Aku hanya berdiam dalam rumah bersama kotak bodoh yang menyimpan seribu mimpiku.
Setelah beberapa hari aku di dalam sini, aku merasa bosan. Menyalahkan Tuhan karna tidak mau membantu. Menyalahkan Tuhan karna mengirimkan kotak bodoh yang kerjanya hanya diam saja.
Aku melempar sejauh-jauh kotak itu dari pandanganku. Mengenai tirai bambu rongsok yang menutupi jendela berdebu. Tirai itu tak terlalu kuat untuk tetap tergantung di atas sana. Membuat cahaya mentari berhasil menembus ke dalam ruangan itu, dan kembali menyorotkan sinarnya, mengenai kotak bodoh yang tidak tau diri milikku itu.
Aku kesal bukan main. Kembali menyalahkan Tuhan, menyalahkan keadaanku yang sebegini menderitanya. "Akan ku buat perhitungan dengan Mu!!" marah ku.
Aku hanya bisa menangis di dalam celah lutut yang aku peluk. Menangis karna kesalnya. Menangis sekeras-kerasnya, menunjukkan bahwa aku menderita. Ku keluarkan apapun yang membuat hatiku terasa seperti terkena baja panas. Sampai akhirnya aku tertidur.
Tuhan hanya tersenyum melihat tingkahku. "Hei nak, bukankah sampai saat ini Aku amat menyayangi mu. Kau hanya butuh sedikit keberanian untuk melawan mentari. Ditambah usaha dan semangat besar, kau dapat menghidupkan kotak 'Harapan' mu. Dan perlu kau ketahui, kotak itu tidak Ku ciptakan bodoh. Hanya saja, kau yang sedikit kurang pintar."
Kotak "harapan" tiba-tiba bergoyang. Seperti sesuatu sedang berebut keluar dari dunia yang tidak menghidupkannya. Gerakan ribut kotak itu membangunkanku. Tutup kotak itu terbuka. Sesuatu keluar dari dalamnya. Kecil dan cantik. Di bawah sinar matahari, mereka perlahan tumbuh. Aku terheran melihat kekonyolan ini. Salah satu mimpiku menghampiri dan menarik-narik bajuku seolah berusaha menyadarkanku. Dia adalah "Tuhan mendengar doaku".
"Hey, pemimpi. Cepat bangkit dan bawa kami ke bawah teriknya mentari. Hidupkan kami di luar sana, bukan di sini!! Cepatlah!! Aku dan teman-teman dalam kotak yang kau sebut bodoh itu, akan tumbuh bersamamu di luar sana. Jangan takut pada mentari. Dia bukan apa-apa. Kau lebih kuat dan tangguh dibanding dia."
Aku terhenyak. Terdiam. Dan menyesal telah berbicara kasar pada Tuhan. Seandainya aku berpikir terbalik ketika semua ini dimulai, aku tak akan berputus asa begini. Aku. Lebih kuat!!
Aku bawa kotak "harapan" ku yang tidak lagi bodoh. Maksudku, yang tadinya ku pikir bodoh. Aku berlari, ke arah daun pintu yang mulai reyot, membukanya. Dan...
"Hey, mentari!!! Jadilah sahabatku!! Bantu aku membesarkan mimpi-mimpi di dalam kotak ini," teriakku bersemangat. Sambil menyipitkan mata karna terkena silaunya. Dan ku seka peluh dengan lengan bajuku...
Akan ku jadikan ini "Negeri Seribu Mimpi"...
"Tuhan, setelah aku hitung-hitung. Kau memberi lebih banyak..."
^_^"
Author : Sity Wulandari
Title : Negeri Seribu Mimpi
"negeri seribu mimpi"
Kenapa tidak sejuta atau tidak semilyar? Ibarat uang, jaman sekarang seribu hanya dapat permen 7 buah. Seribu itu tidak banyak, tapi cukup sulit bagi ukuran mimpi. Terkadang satu mimpi saja sampai harus mengorbankan hati dan pikiran yang sangat rumit.
Aku kumpulkan satu persatu mimpi dalam sebuah kotak bernama "Harapan". Agar lebih indah, aku selalu menghiasnya dengan Doa dan untaian kasih. Meskipun begitu aku biarkan kotak itu terbalut luka, kecewa, amarah, bahkan keputusasaan selalu hadir dan membuat lubang-lubang kecil pada kotakku.
Suatu waktu, satu persatu. Malam demi malam, hari demi hari, Bahkan bulan segan untuk nampak. Karna aku sendiri kecewa dan putus asa, tak ada satu pun mimpi yang kusimpan dalam kotak "Harapan" yang berani mendesak keluar dari kotak dan tumbuh bersama denganku.
"Kotak bodoh!!" pikirku.
Seketika mentari seperti sengaja menyilaukan mataku sampai sakit. Aku kesal. Dan mulai hari itu aku tak akan keluar rumah, dan bertemu mentari jelek, yang kerjanya hanya menggangguku. Aku hanya berdiam dalam rumah bersama kotak bodoh yang menyimpan seribu mimpiku.
Setelah beberapa hari aku di dalam sini, aku merasa bosan. Menyalahkan Tuhan karna tidak mau membantu. Menyalahkan Tuhan karna mengirimkan kotak bodoh yang kerjanya hanya diam saja.
Aku melempar sejauh-jauh kotak itu dari pandanganku. Mengenai tirai bambu rongsok yang menutupi jendela berdebu. Tirai itu tak terlalu kuat untuk tetap tergantung di atas sana. Membuat cahaya mentari berhasil menembus ke dalam ruangan itu, dan kembali menyorotkan sinarnya, mengenai kotak bodoh yang tidak tau diri milikku itu.
Aku kesal bukan main. Kembali menyalahkan Tuhan, menyalahkan keadaanku yang sebegini menderitanya. "Akan ku buat perhitungan dengan Mu!!" marah ku.
Aku hanya bisa menangis di dalam celah lutut yang aku peluk. Menangis karna kesalnya. Menangis sekeras-kerasnya, menunjukkan bahwa aku menderita. Ku keluarkan apapun yang membuat hatiku terasa seperti terkena baja panas. Sampai akhirnya aku tertidur.
Tuhan hanya tersenyum melihat tingkahku. "Hei nak, bukankah sampai saat ini Aku amat menyayangi mu. Kau hanya butuh sedikit keberanian untuk melawan mentari. Ditambah usaha dan semangat besar, kau dapat menghidupkan kotak 'Harapan' mu. Dan perlu kau ketahui, kotak itu tidak Ku ciptakan bodoh. Hanya saja, kau yang sedikit kurang pintar."
Kotak "harapan" tiba-tiba bergoyang. Seperti sesuatu sedang berebut keluar dari dunia yang tidak menghidupkannya. Gerakan ribut kotak itu membangunkanku. Tutup kotak itu terbuka. Sesuatu keluar dari dalamnya. Kecil dan cantik. Di bawah sinar matahari, mereka perlahan tumbuh. Aku terheran melihat kekonyolan ini. Salah satu mimpiku menghampiri dan menarik-narik bajuku seolah berusaha menyadarkanku. Dia adalah "Tuhan mendengar doaku".
"Hey, pemimpi. Cepat bangkit dan bawa kami ke bawah teriknya mentari. Hidupkan kami di luar sana, bukan di sini!! Cepatlah!! Aku dan teman-teman dalam kotak yang kau sebut bodoh itu, akan tumbuh bersamamu di luar sana. Jangan takut pada mentari. Dia bukan apa-apa. Kau lebih kuat dan tangguh dibanding dia."
Aku terhenyak. Terdiam. Dan menyesal telah berbicara kasar pada Tuhan. Seandainya aku berpikir terbalik ketika semua ini dimulai, aku tak akan berputus asa begini. Aku. Lebih kuat!!
Aku bawa kotak "harapan" ku yang tidak lagi bodoh. Maksudku, yang tadinya ku pikir bodoh. Aku berlari, ke arah daun pintu yang mulai reyot, membukanya. Dan...
"Hey, mentari!!! Jadilah sahabatku!! Bantu aku membesarkan mimpi-mimpi di dalam kotak ini," teriakku bersemangat. Sambil menyipitkan mata karna terkena silaunya. Dan ku seka peluh dengan lengan bajuku...
Akan ku jadikan ini "Negeri Seribu Mimpi"...
"Tuhan, setelah aku hitung-hitung. Kau memberi lebih banyak..."
^_^"
Author : Sity Wulandari
Title : Negeri Seribu Mimpi