Dear pembaca setia gue. Entah ini ungkapan miris, bangga, atau sekedar ungkapan konyol. Tapi gue yakin setiap orang punya Dunia Imajinasi-nya masing-masing. Hanya saja, berbagai macam cara mereka memperlakukannya.
Sejak kecil gue udah punya dunia imajinasi yang malampaui batas. Sampe-sampe orang gak ngerti apa maksud gue dan apa maksud cerita gue tentang Dunia Imajinasi gue. Mungkin bagi sebagian orang "kaku" mengganggap ini konyol atau gak penting. Tapi yakin se yakin yakinnya, orang itu pasti juga punya Dunia Imajinasi sendiri. Bedanya sama gue, Dunia Imajinasi mereka dibiarkan begitu aja, berangsur-angsur mengering dan mati. Jadilah orang yang hidup dengan super realistis dan membosankan. Tapi masih banyak juga sebagian yang lainnya tetap memelihara Dunia Imajinasi mereka bahkan hingga tua. Dan mereka itu sebagian adalah seniman.
Bukannya gue mengelak tentang realistis dan realita hidup. Tapi ada baiknya Dunia Imajinasi tetap kita pelihara beriringan dengan Dunia Nyata kita.
Lihat para anak-anak jalanan yang sudah harus bekerja mencari koin-koin belas kasihan. Sebagian mereka yang dihancurkan Dunia Imajinasi-nya oleh para seniornya, pasti memiliki karakter yang selalu negatif thinking tentang sesuatu yang asing menghampirinya. Mereka cenderung lari sejauh jauhnya, dan kembali ke kelompok mereka yang super realistis itu.
Tapi lihat segelintir anak lagi yang tetap memutuskan Dunia Imajinasinya hidup di otaknya. Mereka punya banyak kemungkinan dan punya banyak cara menghadapi persoalan. Mereka menggunakan hati pada hal yang cenderung semakin membuat mereka berfikiran positif.
Pengecualian untuk orang yang sakit jiwa yaaa..
Dan mengenai Dunia Imajinasi gue, gue sadar betul lahir dari keluarga yang sangat sederhana. Dan berkat mimpi-mimpi yang ada di Dunia Imajinasi gue, gue berhasil menyandang siswa yang selalu memiliki NEM tinggi. Awalnya apa?? Mari kita flashback...
Dari kecil gue dan kakak gue dididik untuk pintar. Pintar ya, bukan Cerdas. Orang tua saat itu dalam keadaan ekonomi terhimpit, yang menyebabkan anak-anaknya harus mematikan energi Dunia Imajinasi-nya demi kepentingan bersama. Ya, kakak gue melakukannya. Dia jadi anak yang pintar, dan berprestasi. Tapi gak cerdas. Sebab apa? Dia mematikan Dunia Imajinasinya. Sekarang dia terjebak di Dunia Nyata-nya, dan terlalu pahit untuk berfikir kembali ke Dunia Imajinasi-nya yang udah mati. Dia korbankan mimpi-mimpinya, demi gue, adiknya. Dan itu adalah tuntutan setiap anak di keluarga kami. Ditambah lagi, kami semua perempuan yang harus dijaga ekstra hati-hati. Segala jenis peraturan diterapkan. Dari gak boleh pacaran pas masih sekolah, gak boleh nonton bioskop, gak boleh punya handphone, pulang sekolah harus langsung pulang, nilai-nilai di buku tulis gak boleh ada yang dibawah 6, sampe gak pernah ada kata terlambat sekolah sekali pun. Bukannya gue bilang itu semua gak baik. Itu semua mendidik. Bahkan sampe sekarang gue ngerasain gunanya didikan-didikan keras itu. Menjadikan gue dan kakak gue anak yang pintar, berprestasi, dan dikenal. Dan gue sampe punya pikiran, "Kalo gue gak belajar, gue dapet nilai jelek, trus rapot gue jelek, trus gue jadi anak yang semakin males belajar, trus gak lulus sekolah, lulus pun gak ada yang mau nerima gue kerja di perusahaannya. Trus kalo gue pengangguran, gue bakalan jadi gelandangan yang hidup di jalanan, gak punya rumah, tidur di tempat kotor bareng serangga-serangga menjijikkan. Mau kuliah setelah lulus sekolah?? Gak mungkin, gak ada biaya. Nah, gelandangan kayak gue yang gak mau idup susah, paling-paling larinya jadi copet atau penjahat. Nah, kalo udah gitu gue bakalan jadi buronan polisi, dan bisa dipastikan tempat yang paling cocok buat gue adalah penjara" Damn for that fact!!! fffyyiiiuuuuuuhhhh...
Sebab gue terlalu cinta sama Dunia Imajinasi gue, gue hidup di dua dunia sekaligus. Menghadapi persoalan-persoalan dari kedua sudut dunia yang gue punya. Gue memang senang menilai karakter orang lain dari kecil. Dia orangnya begini, dia orangnya begitu. Tapi sampe sekarang gue sulit mengungkapkannya dengan kata yang tepat. Gue belajar memahami dari pengalaman orang-orang sekitar gue. Menilai mana yang baik, mana yang buruk, mana yang menguntungkan buat diri gue, dan mana yang bisa membuat gue lebih baik.
Dari kakak gue, gue belajar bagaimana berkorban, mengalah, memprioritaskan kepentingan orang lain, dan membahagiakan orang tua. Dari Bapak gue, gue belajar ketegasan, keberanian, kebijaksanaan, tanggung jawab, dan profesional. Dari Mamak gue, gue belajar merawat, mendidik, berkasih sayang, memafkan, kejujuran, sabar, tegar, dan pantang menyerah. Dari adik gue, gue belum belajar banyak dari dia. Tapi semoga saja dia juga mengikuti jejak gue untuk belajar kehidupan dari orang lain. Itu semua diolah dalam Dunia Imajinasi gue. Gue membiarkan semua itu matang dalam Dunia Imajinasi.
Tapi seiring bertambahnya usia dan kepahitmanisan hidup yang udah gue alamin, gue merasa hampir melupakan Dunia Imajinasi gue yang paling perfect. Pelan-pelan, dunia gue itu mengeras seperti terbalut jelly dingin. Gue berusaha untuk tidak benar-benar melupakan. Gue takut bakalan kayak kakak gue, yang enggan bermimpi karna dia tau Dunia Imajinasi-nya mati.
Dan ini adalah apresiasi yang pengen banget gue kasih buat temen gue, Ujang alias Uje alias Tian. Yaaa.. Siapapun namanya. Dialah orang paling berbakat dalam me-maintain sebuah Dunia Imajinasi. Bahkan dia berhasil mendongkrak kembali energi Dunia Imajinasi milik gue. Gue mulai concern juga me-maintain Dunia Imajinasi gue. Berusaha mendapatkan porsi lebih dari 24 jam sehari yang gue punya. Bahkan, gak jarang juga gue sama Ujang membangun sebuah Negeri Imajinasi sendiri. Hanya gue sama dia yang mengerti setiap alurnya. Dan temanku yang lain, yang mungkin Dunia Imajinasi-nya sudah mulai mengering, hanya bisa menatap aneh sama kelakuan kita berdua kalo udah masuk ke Negeri Imajinasi yang kita berdua buat.
Dan sampai usia gue ke-20 tahun ini, dalam sendiri, gue masih aja seru sama cerita-cerita di otak gue. Gue mendapatkan sebuah dunia yang terbentuk dari apa yang waktu kecil benar-benar gue suka. Banyak tokoh. Seperti Power Ranger, Barbie, Princess and Prince Disney. Dan latar tempat mirip seperti sebuah dongeng, atau drama serial anak-anak. Alur tetap sama. Gue sebagai pemeran utama dari banyak kisah yang terjadi di Dunia Imajinasi gue. Dan so pasti, Dunia Imajinasi gue ini tertumpahkan pada dimensi nyata, yang karakter tokoh dan plotnya secara kebetulan mirip dengan apa yang gue ciptakan di otak gue. Mirisnya, gak banyak orang mengerti dengan cerita yang gue tumpahkan, atau sebutan sebuah tokoh untuk seseorang di dunia nyata. Mereka menampik, dan akibatnya gue jarang menumpahkan ke orang lain. Kecuali mereka yang menurut sinyal gue, memiliki Dunia Imajinasi yang hidup seperti gue. Tapi gue tetep jadi orang yang realistis, dan gue juga jadi seorang pemimpi ulung yang memiliki negeri di otaknya.
Banyak mimpi yang menurut gue gak mungkin terjadi di Dunia Nyata gue, dan gue menempatkan hal tersebut ke Dunia Imajinasi. Sebab, cuma di Dunia Imajinasi mereka dapat benar-benar hidup. Ini cara gue menghindari frustasi dan stres berkepanjangan. Gue melakukan yang terbaik di Dunia Nyata sesuai dengan apa yang diperintahkan "gue" di Dunia Imajinasi ke "gue" di Dunia Nyata. Sebab, sejauh ini "gue" di Dunia Imajinasi lebih dulu tau alur yang seperti apa yang paling baik gue jalanin.
Gue terlahir dengan gemar menyanyi. Dan di Dunia Imajinasi gue, gue adalah seorang penyanyi terkenal.
Gue pengen punya rumah di pinggir pantai. Dan di Dunia Imajinasi gue, rumah itu nyata lengkap dengan detil ruangan-ruangannya.
Gue pengen jadi wanita hero buat rakyatnya. Dan di Dunia Imajinasi gue, gue adalah seorang anak raja yang berusaha menumpas kejahatan dan membela kebenaran.
Gue pengen punya waterpark sendiri. Di Dunia Imajinasi gue, terpampang jelas waterpark yang magical banget buat para pengunjungnya. Sampe design nya gue hafal, karna sebagai pengusaha taman hiburan, minimal seminggu sekali gue kunjungin waterpark milik gue itu.
Gue pengen punya rumah makan sederhana bersama orang tua gue. Dan di Dunia Imajinasi gue, sudah tersebar 50 cabang rumah makan sederhana yang ada di setiap terminal, daerah perkantoran, daerah industri, dan daerah wisata. Gue melihat sendiri betapa banyak orang yang makan di rumah makan milik gue dan orang tua gue itu.
Gue pengen punya kekuatan membaca pikiran dan hati orang lain, mengendalikan perasaan, dan mengontrol objek. Dan di Dunia Imajinasi gue, gue punya itu semua. Tapi untuk yang satu ini agak lebay kalo buat direalisasiin di Dunia Nyata... hahhaha
Dari segelintir mimpi-mimpi gue itu, akan memacu gue untuk menjadikannya nyata. Dan beberapa diantaranya benar-benar berhasil dan membuat gue semakin percaya dengan apa yang ada di Dunia Imajinasi gue itu. Ini bener-bener magic dan gue alamin sendiri. Meskipun baru hal-hal kecil yang sudah terealisasi, ini gak mematahkan fakta bahwa Dunia Imajinasi gue hidup dan menghidupkan Dunia Nyata gue.
Dan yang masih gue ragu untuk menempatkan mimpi gue yang satu ini di Dunia Imajinasi gue, adalah seseorang yang gue pengen banget jadi pendamping hidup gue kelak. <<<< yaaaahhh.... galaaauuuuu....... Ngeri bakal jadi obsesi, kalo gak kesampean jadi gila.... <<<< biasanya cinta emang sering bisa bikin gila kalo kita gak sering-sering mendekatkan diri sama Allah.
So, guys... Jangan biarkan Dunia Imajinasi kalian mengering dan mati. Hidupkan!!!
0 komentar:
Posting Komentar