Buat semua pembaca setia yang selalu memiliki cita-cita...
Sebelum kita membahas bagaimana dalam realitanya orang-orang memiliki cita-cita, mari kita bahas terlebih dahulu apa itu cita-cita.
"Cita-cita
menurut definisi adalah keinginan, harapan, atau tujuan yang selalu ada
dalam pikiran. Tidak ada orang hidup tanpa cita-cita, tanpa berbuat
kebajikan, dan tanpa sikap hidup. Cita-cita itu perasaan hati yang
merupakan suatu keinginan yang ada dalam hati. Merupakan
bagian atau salah satu unsur dari pandangan hidup manusia, yaitu sesuatu
yang ingin digapai oleh manusia melalui usaha. Sesuatu bisa disebut
dengan cita-cita apabila telah terjadi usaha untuk mewujudkan sesuatu
yang dianggap cita-cita itu." (Kutipan dari http://ewirahutomo.blogspot.com/2012/07/pengertian-cita-cita.html)
Selama dua puluh tahun sampai saat tulisan ini di posting, saya telah memiliki banyak cita-cita. Ini daftar cita-cita saya :
Wulan 8 th : "Ma, aku mau jadi astronot, supaya bisa ke bulan, udah gitu deket sama bintang-bintang, aku juga bisa belajar rasi bintang sama zodiak-zodiak"
Wulan 12 th : "Saya mau jadi artis yang suka berperan sebagai pahlawan, pak"
Wulan 16 th : "Cita-cita saya mau jadi penyanyi pak"
Wulan 17 th : "Saya mau jadi mahasiswa STAN, sang kampus impian lalu kerja di Kantor Pajak"
Wulan 18 th : "Jadi direktur kayaknya enak, berarti saya harus menguasai minimal Bahasa Mandarin sama Bahasa Inggris"
Wulan 19 th : "Punya pabrik kue kering dan tersebar di seluruh swalayan"
Wulan 20 th : "Punya rumah Full House di pinggir pantai, punya minimal 100m2 tanah, punya saham, berangkat umroh, tinggal di luar negeri slama 2 th, punya rumah makan di banyak kawasan perkantoran, terminal, stasiun, universitas, dan industri."
Dan masih banyak cita-cita yang tidak disebutkan, karna hanya bersifat dadakan saya ucapkan.
Namun, seiring berjalannya waktu, saya malah makin sulit menentukan apa cita-cita saya. Saya menemukan banyak orang disekitar saya yang sama seperti saya. Mereka menjalani hari-harinya begitu saja. Kesibukan, rutinitas masuk jam 8 pagi pulang jam 5 sore. Mengalir apa adanya. Mereka lupa cita-cita mereka. Apa yang mereka kerjakan sangat tidak sesuai dengan apa yang mereka impikan.
Lihat diri saya. Semakin dewasa, saya semakin mengenal siapa saya. Apa yang sangat saya gemari untuk saya lakukan. Apa yang menjadi kejenuhan dan titik perhatian saya. Apa yang benar-benar harus saya ikuti dari kata hati saya. Semua itu semakin jelas dan kontras. Kala ada hal yang benar-benar tidak saya sukai, saya akan benar-benar menghindar sejauh mungkin.
Terlahir sebagai keturunan darah seni. Bapak, saya tau dia pelukis dan pengukir hebat. Tapi beliau tidak pernah berfikir menjadi seniman adalah hal yang dapat menghasilkan uang. Yang beliau tau, saat kita bekerja untuk orang lain saat itulah uang akan kita dapatkan. Dari kecil, beliau yang mengajari aku menggambar hingga aku bisa menggambar dan mewarnai dengan baik. Tapi mungkin darah seninya sudah diputuskan untuk beliau tinggalkan demi menjadi seorang pramuniaga toko di Jakarta untuk memberi nafas keluarga kecilnya.
Mbah Piyem, nenekku. Menurut sejarah yang aku dengar, beliau seorang penari janggrung sekaligus sinden dari kampung ke kampung sewaktu muda. Hal ini dilakukannya dari hati. Sampai pada akhirnya beliau menyandang status janda dan harus mengurus 2 anak terkecilnya. Asap dapur harus selalu mengepul. Tidak mungkin beliau meneruskan hobinya. Akhirnya, beliau meninggalkan hobinya itu untuk menjadi buruh tani sampai akhir hayatnya.
Mamak, entah darimana beliau belajar memasak. Ia selalu membuatkan kami sekeluarga makanan yang enak. Meskipun hanya makanan sangat sederhana. Sebut saja sambal. Sambal buatan Mamak adalah yang paling enak di dunia. Bahan makanan apapun berhasil diolahnya menjadi makanan enak. Kemampuan masaknya diatas rata-rata. Begitupula Bapak, meskipun beliau adalah raja di keluarga kami, tapi ia mahir membuat makanan enak untuk keluarganya.
Dan masih banyak keluarga besarku yang mewarisi darah seni para sesepuh. Meskipun sebagian dari mereka pun hanya menjadikannya sebagai hobi bukan profesi. Dan menurut perediksi saya, saya menuruni mereka.
Cita-citaku tumbuh sejalan dengan kedewasaanku menghadapi hidup. Semakin mengenali realita dunia luar. Bukan hanya bungkusnya, tapi hingga isinya. Rekayasa buatan manusia sana-sini telah berlaku. Dan aku hanya bisa menjadi penonton. Atas seluruh cita-citaku yang kini tercium lebih realistis.
Menyanyi, memasak, menggambar dan mewarnai, menyair, menulis, apapun. Aku lakukan hanya sebagai sampingan. Bukan sebagai profesi.
Ketika menyanyi dapat mengobati setiap luka yang bersemayam di hati.
Ketika memasak dapat memberi kepuasan terhadap penyaluran kasih sayang dan cinta terhadap yang menikmatinya.
Ketika menggambar dan mewarnai dapat membuatmu bangga akan karya imajinasi.
Ketika menyair dan menulis dapat menjadi jembatan curahan-curahan hati yang tak bisa diungkapkan.
Semua itu adalah bintang-bintang dibalik ketangguhanku. Cita-cita dibalik realita hidup. Maka akan selalu menjadi aku ketika semua itu tetap ada di dalam diriku. Cita-cita kini tak selamanya tentang profesi, tapi sebuah pencapaian hidup.
0 komentar:
Posting Komentar