Minggu, 27 Desember 2015

BOLANGERS KE TANAH BELITUNG #DAY 3


*Ringtone telponnya Ipul bunyi* Jam 2 pagi, dan berhasil membangunkan gue. Tersadar suhu ruangan menjadi semakin dingin. Gue menggigil. Brrrrrr..... "Nih sist, ambil aja selimutnya," Ujang pun terbangun dan memberikan selimutnya ke gue. Gak ngefek, badan masih menggigil. Setengah sadar gue  berusaha memanggil Ipul yang sepertinya sudah selesai mengangkat telpon dan beranjak tidur lagi. "Pull... puull..." panggil gue dengan malas. "Tolong Pul, jaket gue dong Pul. Lemparin aja." Terlihat remang-remang Ipul tengah mencari-cari di mana jaket gue. "Di meja Pul, deket kaki lu tu." Akhirnya badan menggigil gue terbalutkan jaket hangat merah kesayangan gue. 

=*=*=*=*=

Kami masih bergantian menggunakan kamar mandi. Airnya sangat sejuk. Gue gak akan lupa dengan suasana cottage ini. Apalagi pintu kamar mandi yang sedikit kurang rapat jadi bisa diintip dari arah kamar. Karpetnya yang hijau lembab. Kelambunya yang tidak romantis. WC duduk yang gak ada semprotan ceboknya. Derit tangga kayunya. Pagar kayu yang berguna buat jemuran baju. Bulir-bulir pasir yang tersempil diantara rerumputan. Gue bakal kangen banget dengan ini semua.

Keluarga Cem-ceman....
Ya, hari ini adalah hari terakhir kita ngebolang di Belitung. Sekaligus pamit, karna nanti malem gak nginep di sini lagi. Haadduuhhh... Syedih ya soobb... Sepanjang pandangan pekarangan cottage udah pantai. Deburan ombaknya selalu bikin rindu pastinya. Pukul 06.00 kami turun ke resto memesan sarapan. 4 nasi goreng seafood, 1 goreng biasa, dan 5 gelas teh manis. Mungkin nasi goreng seafood disini adalah nasi goreng seafood terenak yang pernah gue makan. Nasi goreng buatan Bunda. Suatu hari kalo gue kesini lagi, gue bakal minta bikinin nasi goreng seafood nya lagi sama Bunda. ^-^"

Waiting for Nasi Goreng Seafood....
Kami duduk-duduk di pekarangan samping resto tepat di pinggir pantai. Pagi yang amat cerah. Langit biru dihiasi awan tipis. Masih sambil foto-foto syaanntiikk sambil menunggu sarapan datang. Semburat mentari pagi menyinari wajah kami yang terlihat sekali garis-garis kelelahan. Gue dan Ujang bermain di hammock yang tergantung di pohon pinggir pantai. Tiga orang lainnya masih duduk-duduk menunggu pesanan sambil mengobrol.

Masih ngantuk.. Mumpung liburan...
Pesanan nasi goreng favorit gue datang. Kami melahapnya santai sambil menikmati suasana. Suap demi suap. Gue menikmati sambil mengingat-ingat rasanya dengan jelas. Rasa yang pernah ada gak bisa dilupain, rasa Belitung. Belum habis, tapi perut gue udah keisi hampir penuh. Sebagian nasi goreng punya gue, gue kasih ke Ujang. Karna pastinya dia bakal menghabiskan semuanya. "Gue kalo makan pagi sama siang banyak, sist. Tapi kalo malem sedikit doang. Soalnya diatur sama nutritionist," begitu katanya berulang-ulang tentang proyek pembentukan massa otot ala WRP nya. Gue merasa gagal banget jadi cewek. Badan gak dijaga, dan lemak bertebaran di mana-mana.

Pose yang apa banget -__-"
"Udah semuanya? Gak ada yang ketinggalan? Udah dicek cottagenya sekali lagi? Kunci ama lu kan Pul?" tanya gue bertubi-tubi sebelum kami benar-benar meninggalkan Pantai Kelayang ini. Pak Andi tengah bersiap-siap. Kami pun mengisi waktu luang untuk berfoto di depan cottage. Berfoto ala-ala Dian Pelangi yang buat gue gagal banget. Tak lupa payung pelangi yang menjadi icon perjalanan kali ini. Bergaya lompat, candid, sampe kayang terbang pun dilakoni. Demi memuaskan hati Ipul yang sibuk dengan shootnya. Disuruh lompat lah, jinjit lah, muter lah. Kalo bang Ipul bilang lagi, pose gak sudah-sudah. Entah apa yang dia cari dari diri wanita-wanita malang yang sama sekali enggak fotogenic. Ujang dan Ipul menjadi sangat sibuk berkat sesi foto di depan cottage kali ini.

Puas berfoto, gue mengangkat handuk dan outer yang gue jemur di atas kap mobil. Lumayan, kering dikit. Kami kembali ke resto dan berpamitan dengan semuanya. "Ibu, saya pamit ya bu. Bakalan kangen sama semuanya, makasih ya udah dilayani kayak keluarga," ucapku sambil memeluk Bunda. "Makasih ya Mas," aku pun bersalaman dengan Kusno sambil menatap wajahnya yang senyum sumringah memikat hati. Untung gue gak bablas meluk yak... Ahahhakk... 
"Kapan nanti main-main lagi ke sini," jawab Bunda.
"Insya Allah Bu, doain banyak rejeki biar nanti bisa balik ke sini."
"Ya, semoga lancar kerjanya di sana ya dik. Jangan lupa sama kita yang di sini."
"Pasti Bu, doain aja. Makasih ya semuanya....!! Sekalian pamit nanti malem gak balik sini. Nginep di Tanjung Pandan."
"Oh, iya. Ati-ati ya dik."
Kami semua masuk mobil. Ada rasa berat di hati, ternyata harus secepat ini pulang kembali. Langit cerah Pantai Kelayang seolah ikut bergembira karna kehadiran kami di sini sekaligus mengantar kami pulang dengan semangat baru untuk dibawa ke Jakarta besok.
"Dadah dulu sama Bunda," ujar Pak Andi.
Kami semua melambaikan tangan ke arah resto. Arah dimana Kusno dan Bunda berdiri mengantar kepergian kami. Arah dimana tatapan mata dan senyum memikat itu terasa seperti menyusuri keberanian gue menatap balik untuk yang terakhir kali. Mulaaiiii dehh... penyakit ganjennya kumaatt... -__-"

=*=*=*=*=

Kucing tetangga bikin sarang di Museum
Selama perjalanan menuju destinasi berikutnya kami di tunjukkan beberapa tempat iconic tetapi tidak terlalu ramai. Seperti contohnya rumah kediaman Bapak Ahok atau yang kita kenal sebagai Bapak Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang menjabat sejak 19 November 2014 (sumber Wikipedia). Dilihat dari bangunan rumahnya yang agak-agak bergaya Belanda dan dominasi warna putih, bisa dibilang pada masa mudanya dulu Pak Ahok termasuk anak dari keluarga yang berada, seperti yang telah kita ketahui saat ini *macem pembaca berita gitu gue*
Kemudian kami banyak melewati kubangan luas kira-kira sebesar lapangan bola yang kata Pak Andi kubangan-kubangan itu adalah bekas pembuangan minyak dan limbah pertambangan pada masa lalu yang tidak direklamasi oleh pengelolanya.

Sampailah kami di Museum Tanjung Pandan, padahal sebelumnya destinasi ini tidak ada di itinerary. Tapi berhubung Pak Andi dengan antusias membawa kami kemari, jadilah kami mampir sebentar ke museum ini. Harga tiket terbilang sangat murah yakni Rp 2.000,- per kepala. Kebetulan kami adalah pengunjung pertama di sini, jadi museum terasa sangat mencekam. Namun tak beberapa saat, datanglah rombongan ibu-ibu yang rame luar biasa. *the power of emak-emak*

Sepi.... Tapi hati gue lebih sepi... krik krik krik
Museum ini banyak memamerkan batuan-batuan khas Belitung. Juga temuan laut barang-barang kuno yang telah lama karam. Dari mulai alat pertambangan, alat rumah tangga, senjata tradisional, keramik-keramik dari china kuno, sampai hewan-hewan yang diawetkan. "Yu, sini yu. Kalo ini kendinya di deketin tel  inga kita, nanti ada suara laut. Semakin kenceng suaranya, tandanya dia semakin lama usianya di dalem laut," jelas Pak Andi ke gue yang sedikit gak percaya.
"Masa sih pak?"
"Iya, cobain aja sini. Nih..."
Gue pun mendekatkan telinga gue ke kendi, dan aweessoommmee... beneran bunyi laut. Bunyi gemuruh arus bawah laut persis yang ada di film Titanic. Masih percaya gak percaya sih. Tapi teori ini berhasil membawa imajinasi gue jauh ke dasar laut tempat kendi ini ditemukan.
"Eh iya, beneran Pul. Lu dengerin deh Pul," ujarku ke Ipul.
"Apaan Tay?'
"Lu dengerin kendinya deh. Semakin kenceng suara lautnya tandanya semakin lama dia di dalem laut."
Kemudian Ipul pun mendekatkan telinganya ke bibir kendi, lalu respon yang dia berikan sungguh membuat gue tercengang. Cuma manggut, poker face.... -__-"

BBB.... BLP....
Bertolak ke halaman belakang museum setelah banyak melihat-lihat di dalam ruangan museum. Taman belakangnya disulap menjadi taman bermain sekaligus kebun binatang mini dengan koleksi unggas yang lumayan banyak. Ada juga koleksi ikan tapi hanya beberapa akuarium saja. Kategori reptil hanya Ular dan Buaya. Namun buaya di sini BBB (Bukan Buaya Biasa). Pasalnya, Buaya yang dikerangkeng di sini ialah buaya yang sama dengan yang ada di film Laskar Pelangi. Sehingga nama latin buaya ini adalah Buaya Laskar Pelangi *tarakdungcess*
Tepat di belakang kandang Buaya, terdapat kandang unggas yang mirip seperti Ayam Kalkun. Namun entah kenapa tulisan yang tertera di jeruji kandangnya, unggas ini memiliki nama "Ayam Kalun" *yaudahlah ya..... sabar aja* Gue berusaha ngajak ngobrol ayam ini. Karna gue penasaran sebenernya nama asli dia siapa. Gue bener-bener baru denger nama unggas Ayam Kalun. Jadi daripada penasaran, mending gue tanya kan ke ayamnya langsung. "Kuluk... kuluukk... kluukkk.. kuluukk... kluukk..  kulukk.." Namun yang terjadi sungguh membuat gue terkejut. Si ayam ngamuk, dan berusaha mematuk-matuk jeruji kandangnya sendiri, "Kuluk...!!! kuluukk...!! kluukkk..!!! kuluukk...!!! kluukk..!!  kulukk..!!!!!". Disusul dengan amukan teman dibelakangnya. Gue dan Mimi sontak bertolak mundur menjauh dari kandang. Tapi dibanding terkejut, gue jauh lebih iba sih sama ayam ini. Gue cuma nanya nama aslinya, si ayam malah curhat. Karna gue tetep nanya nama aslinya tanpa menggubris curhatannya, si ayam langsung marah. Ternyata ayamnya Baper parah. Lebih parah dari Mimi. *sabar ya Ayam...*
Daripada urusan panjang sama Ayam Kalun, gue bertolak ke kandang Eagle di seberang kandang Ayam Kalun. Eagle terlihat gagah sekali, dengan mata yang tetap tajam waspada dan dada yang membusung. Di seberang kandang Eagle ada kandang Owl. Gue tau banget kalo terang begini penglihatan Owl agak burem. Jadi dia cuma diem aja gak bergerak atau pose keren ala ala Harry Potter.
Di area taman bermain juga ada Naga yang ukurannya gede banget. Gak cuma itu. Pesawat terbang pun terparkir di sini. Tetapi karna terbatasnya waktu untuk berlama-lama di sini, gue gak sempet foto di taman bermain yang ada naganya itu. Next time mesti banget foto di situ, karna sumpah, naganya lebih kece dari naga di film laga Indonesia.

=*=*=*=*=

Bukan iklan
Mobil terparkir di Billiton Hotel. Niat kami kesini sebelumnya untuk melihat museum kecil di dalam hotel ini yang katanya sangat bagus dan bersejarah. Hotel ini menyimpan beberapa peninggalan sejarah kuno Belitung yang bisa dilihat oleh masyarakat umum dan tidak perlu check in dulu. Namun, setibanya kami di sana, museum kecil itu tidak bisa dimasuki karena sedang ada acara kebaktian agama kristen di ruang aula besar yang menghubungkan lobby dengan museumnya.
Gue masih seru melihat-lihat sekitar hotel sampai akhirnya gue tersadar, temen-temen gue yang lain sedang mengerubungi sesuatu yang sedang menangis di tangga depan aula dekat parkiran. Gue sangat terkejut setelah melihat yang menangis itu adalah anaknya Mimi anak cowok cina super gembul mata sipit dan pipi bakpao dengan luka lebar di sikut kirinya. Anak itu meracau terus sambil menangis. Bicaranya kurang jelas, gue denger seperti membahas sesuatu tentang Power Ranger atau Ultraman. Darahnya lumayan, tapi kokoh kecil gak ngubris tangannya yang luka. Dia cuma nangis sambil ngomong karna temen-temen gue pada nanyain dia. Beberapa ada yang mengusap air matanya. Tapi gue gak liat satupun yang mengobati lukanya. Ada cici kecil yang berusaha menjelaskan kronologis kejadian si kokoh jatuh, tapi tak seorang pun mendengarkan. Gue reflek mengeluarkan tisu dan hansaplast plester. Tetapi lukanya seperti harus dibersihkan dulu sepertinya. Penjaga hotel yang sedari tadi menonton kejadian ini malah diam saja, sampai saya bilang, "tolong pak, air pak air, cepetan." Kemudian si Bapak penjaga pintu aula bergegas mengambil air ke toilet yang gak jauh dari aula.
Si kokoh kecil masih menangis dirubungi teman-teman gue. Dan gak berapa lama, mamanya si kokoh dateng. "Koh, enak??! Mau lagi, jatuh iya? Enak kan?? Mami kan udah bilang, gausah keluar-keluar. Lihat tuh berdarah. Sakit gak? Enak kan? Mau lagi, iya??!!" Kemudian Bapak yang mengambil air pun tiba dengan gayung kuning berisi air. Si kokoh diajak maminya masuk ke dalam. Masih tersisa isak-isak tangis dan luka yang dibersihkan dengan tisu ala kadarnya. Dan air di gayung yang baru saja datang, tidak berguna sama sekali.

Norak dan bahagiaaaaa....
Kami bertolak ke arah Bundaran Batu Satam sebagai ikon Tanjung Pandan. Ada suara berisik burung-burung yang ternyata berasal dari peternakan burung walet di seberang Billiton Hotel. Suara-suara burung itu bersumber dari sebuah gedung tiga lantai tua yang seolah sudah sangat horor seperti di film-film vampir china tontonan jaman gue kecil dulu.
Jalanan cukup sepi *seperti biasa*. Kami menyeberang ke arah taman kecil dan berfoto syantikk dibawah terik matahari pagi. Hanya ada kita berlima di taman itu. Mungkin sudah banyak juga orang lewat yang berpikir gue dan teman-teman norak. *hening*

=*=*=*=*=

Melanjutkan perjalanan ke Wisata Batu Mentas. Kali ini tujuan kami sedikit berbeda dari suasana pantai. Kepengen juga sih, nyobain atmosfer trecking hutan di Belitong kayak apa. Kenapa pilih ke Batu Mentas? Iseng aja sih sebenernya Karena terbatasnya waktu dan perbekalan, jadi kami pilih medan trecking yang ringan daripada kami ke Gunung Tajam yang katanya di puncaknya ada Indomaret makam Syeikh Abubakar Abdullah yang terkenal itu. Gue juga mikirin kondisi Mimi yang pastinya gak akan mau diajak trecking kayak gitu.
Sepanjang perjalanan kami di payungi awan tebal nan mendung. Sempat hujan sebentar dan kering lagi, padahal tadi pagi cuaca Tanjung Kelayang cerah sekali. Jalanan sepi *seperti biasa*. Hanya ada mobil kami yang melintas. Sesekali ada beberapa motor yang lalu lalang. Mobil bisa dihitung jari selama perjalanan dari Tanjung Pandan sampai Batu Mentas. Kanan kiri jalan banyak sekali kebun lada. Kontur tanah yang berpasirmenjadi ciri khas Belitong di sisi mana pun.

Tarsius di Film Madagascar
Mobil terparkir di bawah rimbun pohon. Terlihat sekali baru saja diguyur hujan di sini, karna dedaunan di tanah basah dan lembab. Batu Mentas terkenal dengan budi daya Tarsius. Primata terkecil yang bisa memutar kepalanya 180 derajat. Matanya belo kayak mata gue, tapi sayangnya dia rabun kalo siang karna dia hewan nocturnal. Gue sempat masuk ke kandangnya, mencoba bersalaman dan mengobrol, tetapi Tarsius hanya menclok dan diam saja. Semakin gue mendekatkan jari gue dan mengajaknya ngobrol. Respon yang tak terduga, Tarsius marah. Entah, kenapa hewan-hewan hari ini pada baper. Tapi yasudah, mungkin Tarsius butuh istirahat. Setelah Ipul sempat mengambil beberapa foto, kami pun bertolak ke kandang eagle bantet dan wahana lainnya.
Entah ini hoki atau apa, hanya kami pengunjung Batu Mentas hari ini. Seperti di destinasi sebelum-sebelumnya. Berasa tempat rekreasi yang sengaja dibangun Belitong buat kita berlima doang. Arena outbondnya terlihat tak terawat. Namun benar saja, ternyata sedang dalam perbaikan. Tiket masuk Batu Mentas Rp 10.000,- per orang. Ada paket tubing, tapi kita gak ambil karena lihat kondisi sungai yang agak membingungkan buat tubing. Berhubung juga gak bisa main di arena outbond, jadi kami bertolak ke tepi sungai yang katanya hidup ikan-ikan terapi. "Mas, ini ada ikannya kan ya?" tanyaku pada mas mas guide Batu Mentas. "Yang ikan buat terapi itu," lanjutku.
"Iya. Tungguin aja sebentar, nanti ikannya pada nyamper."
Gue pun langsung masuk ke dalam air sungai yang super bening yang dalamnya hanya setinggi betis gue. "Mas, ada ularnya gak ya?"
"Wah, namanya hutan, ular mah pasti ada. Yang penting hati-hati."
Masnya bilang gitu, gue rada sedikit kicep. Tapi karna Ipul juga ikut nyebur ke sungai juga, jadi gue sedikit berasa aman sampai tiba-tiba Ipul berkata, "eh, bentar deh. Itu kepala babi bukan ya?" Reflek gue ngabur ke tepi sungai, gue naik lagi sambil nengok ke arah yang Ipul maksud. "Apa kayu yak?" Dan naasnya itu cuma kayu -___-" Kayaknya nih anak pengen banget gue masukin karung dah...


Terlalu mainstream main ke Mall, enakan main di kali
Wrecking ban by Milley Virus..
Puas kami foto-foto di sungai, kami penasaran untuk melakukan trecking kecil menuju air terjun. Entah apa yang ada di pikiran Ipul yang mengajak kami menyusuri sungai sampai ke hulu. Sampai kami menemukan air terjun yang dimaksud. Kami mengikuti langkahnya menyusuri sungai. Namun belum beberapa meter, Ipul menunjukan sesuatu yang sedang mengambang di air ke gue. Itu laba-laba. Berhubung gue persis di belakang Ipul, jadi posisi itu laba-laba gak jauh dari gue. Dan gue sontak bergerak mundur sambil meracau gak karuan, segala sumpah serapah terlontar. "Plis Pul, jauhin itu dari gue, jauhin Pul. Cepetan!!!" Kemudian Ipul mengambil laba-laba itu dengan sportcamnya. Entah dia buang kemana itu laba-laba, yang jelas Ipul gak nyakitin itu laba-laba. Padahal gue udah ketakutan setengah mati.
"Yaudah, lu lewat atas aja Tay," ujar Ipul yang udah cengengesan liat ekspresi gue.
Berangkat ngaji...
Belum beberapa meter kedua. Di depan kami jalur trecking agak samar dengan akar-akar pohon raksasa. Akhirnya kami berbalik dan meminta petunjuk jalan sama ibu-ibu tukang Pop Mie. Dia selalu bilang ikutin jalannya aja. Sedangkan kami semua adalah orang yang sama sekali asing dengan yang namanya medan trecking yang gak banyak trecker yang lewat. At last, Pak Andi lah yang menjadi guide kami menyusuri hutan. Gerakannya lincah sekali. Melewati tanaman, akar-akar besar, batu-batu licin, pohon-pohon yang melintang, semua terlewati dengan baik sampai-sampai gue dan temen-temen sering ketinggalan jauh. Ipul bertugas di barisan paling depan. Kalau-kalau ada bahaya, dia yang bertugas memperingatkan temen-temen di belakangnya. Di belakangnya ada Wulan, gue, Mimi, dan Ujang sebagai pelindung paling belakang temen-temen yang di depannya.
Ibu-ibu khosidahan...
Mungkin medan trecking ini gak keduga banget buat yang cewek-cewek, karna gak disangka, kita perlu nanjak dan turun curam, jalanan licin, melewati batuan berlumut dan akar-akar yang melintang tertutup daun yang sewaktu-waktu bisa membuat kita tersandung. Udah gitu gue sama Encum hari ini pake dress macem ibu-ibu mau berangkat ngaji dan Mimi salah pake sepatu yang lebih pantes dipake ke mol kayaknya. "Awas gaes, semut," peringatan Ipul berkali-kali setiap melewati koloni semut yang sedang menyeberang. "Ati-ati batu licin," peringatannya lagi ketika kami menyeberangi aliran sungai kecil berbatu licin. Di sini para arjuna terlihat sekali naluri alamiahnya sebagai pelindung para srikandi. Dua cowok ini bekerja sama saling membantu para cewek ketika melewati medan yang agak sulit. Rela basah-basahan dan kepleset buat nyari pijakan yang aman buat para cewek lewatin. Dan mereka juga mumpuni sebagai porter yang dengan sukarela bawain tas cewek-cewek supaya kami gak begitu kerepotan buat trecking. Berhubung cowoknya dua, jadi dua cewek beruntung yang dibawain tasnya adalah Wulan dan Mimi. Tapi gak apa-apa sih, karna gue ketua rombongan pada awalnya, jadi gue mesti sanggup bawa tas gue sendiri walau nyatanya tas gue emang berat banget. Gue kan cewek perkasa macem Katnees Everdeen gitu. Jadi trecking begini aja sih harusnya gak masalah dong ya... *envy banget, efek jomblo, suka baper*

Ganteng dikit.... Cekreeeeekkk...
Bulir-bulir peluh memenuhi wajah mulus nan gembul yang menampakkan ekspresi amat kelelahan. Sudah setengah jam perjalanan dan air terjun tak kunjung terlihat. "Paling air terjunnya masih setengah jam kedepan lagi, Yu," ujar Pak Andi. Bisa terlihat wajah lelah dan penolakan secara diam khas Mimi. Padahal maksud hati gue pengen banget nerusin karna penasaran. Team tetap team. Satu berhenti, semua harus menghargai. Mesti kompak. Tibalah kami di area tepi sungai dengan banyak batu-batu besar yang melintangi alir sungai.
"Lanjut nggak nih?" tanya Ipul. Kami ragu memutuskan. "Ampe sini aja kali yak?" lanjutnya. Gue pun manggut setuju. Lanjut dengan persetujuan yang lainnya. "Pak Andi !! Udah sampe sini aja Pak..." ujar Ipul sedikit berteriak karna Pak Andi jauh di depan. Kami pun langsung mengambil posisi masing-masing supaya bisa duduk-duduk sambil istirahat di atas bebatuan besar yang dilewati aliran sungai jernih.

Wajah ketakutan gue, entah takut atau girang...
Sejenak duduk di tepian sungai, "Tay, ati-ati di kepala lu ada kupu-kupu kecil tuh. Kupu-kupu apa sih itu.. ssssss.... ada dua. Tuh, terbang-terbang," kata Ipul sambil melihat ke arah atas kepala gue.
"Apaan sih Mi?" tanya gue ke Mimi yang duduk persis di depan gue.
"Hiiii... itu Tay, kupu-kupu pada ngerubungin lu tuhh.. hhiiiii..." jawab Mimi.
"Anuin dong Mi," balas gue cemas karna yang ada di bayangan gue adalah laba-laba yang tadi ketemu di sungai.
"Hiiii... gue takut Tay. Itu kayaknya kupu-kupu penghisap darah... hiiiii... gue takut ahh.. hihiii.." jawab Mimi dengan mimik yang ngeri, padahal gue tau kupu-kupu penghisap darah itu hanya serangga fantasinya Mimi aja.
"Pliss Mi, anuin Mi. Singkirin..." gue udah mulai meracau gak jelas sambil ketakutan karna laba-laba sudah menguasai imajinasi gue. Mimi terus saja menakut-nakuti sampai gue kelelahan berusaha menguasai alam sadar gue yang udah dikuasai sama laba-laba.

Scene laba-laba dan kupu-kupu penghisap darah selesai setelah gue berusaha diam dan menyadarkan diri gue kalau itu hanya imajinasi jahat gue aja. Sekarang waktunya foto-foto syantikk di batu-batu besar di tengah sungai yang super jernih. Ipul hampir saja pengen nyebur kalo gak inget semua pakaiannya ada di mobil. Kami lompat dari batu satu ke batu lain. Menempati batunya masing-masing. Sampai Ujang pun beraksi dan naik ke batu yang paling tinggi. Tak lupa pemotretan gaya-gaya endorse dan Dian Pelangi berlanjut. Ujang dan Ipul selalu aja nyuruh pose yang enggak-enggak. Lompat lah, jinjit, apapun mungkin sampe gue mesti koprol kali yahh hanya cuma pengen dapetin foto kece. Gue yang jadi talent kan ngeri, masa diatas batu tinggi yang permukaannya gak lebar dan bawahnya langsung sungai gue harus lompat. Emang nih anak dua ngajak ribut mulu jadi kang poto -__-"
Narsis bersama Pak Andi main di kali
Encum gak kalah narsis, setiap fotonya pasti dengan tingkah yang luar biasa. Mungkin Ipul mesti nyuruh Encum aja yang lompat-lompat di atas batu. Beda dengan Mimi yang kalem *ngos-ngosan kali yak* Mimi hanya duduk di pinggir, dan gak berani untuk menyeberang ke batu yang di tengah. Dia cuma diem aja. Setengah kecapekan juga setengah takut sepertinya. Pak Andi malah lebih beda lagi. Beliau selalu bisa menyeberang dari satu batu ke batu berikutnya padahal dengan jarak yang lumayan jauh. Di usianya yang sudah tua, beliau masih asik aja walau harus trecking di tengah hutan. Beliau pose-pose di tepian batu tinggi, padahal kami yang muda-muda ngeliatnya udah ngilu banget. Ngeri jatoh, trus nganyut, trus nanti yang nyetir mobil siapa. "Bapaaakkk... turun paaakkkk... Jatoh nanti paaakkk.. ngeri amattt... haaduuuhhhh..." ujar kami yang berusaha menyuruh Pak Andi turun dari batu tinggi di tengah sungai.

Ibu-ibu khosidahan...
Kembali ke tukang Pop Mie tadi. Setelah keadaan mendung dan sedikit gerimis, kami putuskan untuk balik ke start awal. Perjalanan tidak terasa lama seperti berangkat tadi. Ujang, Encum, dan Ipul memesan Pop Mie kuah. Berhubung Pop Mie kuah sisa dua, Ipul akhirnya ngalah dengan beli mie goreng. Ini para rangers kok pada kelaperan gini abis trecking sejam doang... Mimi lebih parah, sudah tau kondisinya kurang fit dan habis kelelahan trecking, dia malah pesen kopi. Dasar kuncen emang... Gue, gak pesen apa-apa. Disamping gak laper, gue juga menghindari mie karna seminggu lalu usus gue eror lagi. Tapi Encum membagi Pop Mie kuahnya. Ciiiieee.. so sweet banget kita yakk... "Nih Cum, abisin" katanya. Dan mau-mau malu akhirnya gue abisin juga Pop Mie nya. Godaan mie kuah di tengah rintik gerimis emang selalu susah dihadepin.

=*=*=*=*=

Beranjak dari Batu Mentas karna matahari yang malu-malu mulai bergerak ke arah Barat. Pukul 13.00 kami bersiap melakukan perjalanan ke Pantai Punai, destinasi paling jauh dan paling makan banyak waktu. Kami mampir di mushola kecil di pinggir jalan setelah kira-kira 15 menit mobil melaju. Satu hal yang gue pahami di Belitung. Sangat banyak mushola dibangun di pinggir jalan di dekat pemukiman warga. Musholanya juga lumayan luas menurut gue. Dan bersih. Tetapi kekurangannya adalah sedikitnya alat sholat yang tersedia, terlebih sarung. Juga karna pasca musim kemarau panjang, jadi air sumur terbatas sehingga sholat zuhur kali ini kami terpaksa pergi ke halaman belakang mushola dan menimba air dari sumur yang juga kering.
Pak Andi selalu berusaha memfasilitasi keinginan kami, sampai dalam hal menimba air di sumur saja Pak Andi bersedia melakukannya agar kami bisa sholat. Ketidaktersediaan sarung, membuat Ujang bingung mau ganti celana panjang di mana. Akhirnya gue suruh dia pinjem ke penghuni rumah di sebelah mushola ini. At last, kami bisa sholat dengan nyaman.

Sekitar 300 meter mobil melaju, "aduh Yu, kacamata bapak ketinggalan di mushola tadi. Semoga masih ada." Lagi-lagi Pak Andi meninggalkan sesuatu di mushola karena kelupaan. Untungnya baru jalan sebentar. Kami pun putar balik ke mushola tadi. Tak berapa lama Pak Andi pun sudah mendapatkan kacamatanya kembali. *kemarin dompet, sekarang kacamata*
"Udah pak? gak ada yang ketinggalan lagi?" tanya gue.
"Enggak kok, enggak. Hahahaa..."
Mobil pun melaju kembali dibawah awan mendung. Rintik hujan kami lewati selama menempuh perjalanan kurang lebih satu setengah jam hingga tiba di Pantai Punai. Terlihat sekali hujan baru saja mengguyur daerah yang kami lewati sekarang. Jejak basahnya, kubangan air, dan daun-daun lada yang basah. Menemani sepanjang perjalanan kami menemukan Pantai Punai yang katanya sunsetnya sangat bagus. Cuaca yang dingin, membuat gue menggigil duduk di depan. Emang gue orangnya gak kuat dingin. Kalo udah kedinginan jadi lemes parah. Pokoknya cukup di suhu ruangan atau sejuk lah. Jalanan pun seperti biasa, sepi. Jarang sekali kendaraan yang belalu lalang. Bahkan bisa dibilang, seperti hanya kami yang punya jalanan.

=*=*=*=*=

Jurus Merak menari di atas batu...
Pukul 14.30 kami tiba di Pantai Punai. Banyak anak nongkrong yang mayoritas umur-umur abege. Hanya ada beberapa mobil yang terpakir. Bisa dihitung jari termasuk mobil kami. Kebanyakan motor yang terparkir sembarang. Fasilitas masih dibangun, belum rampung dan rapi. Hanya bisa dipakai seadanya. Tidak seperti pantai lainnya. Pantai Punai dibangun dengan tanggul kecil di sepanjang pantai, bukan pantai lepas seperti pantai di Belitong kebanyakan. Setibanya kami di Pantai Punai, Ujang mentraktir kami semua jajanan singkong krispi berbagai rasa. Sebungkus kecil nan mungil seharga Rp 5.000,- sama dengan di Jakarta. Bedanya kalau di Jakarta adalah jamur krispi.
Tidak ada yang berenang di air, kecuali satu keluarga bahagia di sisi paling kanan pantai. Kami masih leyeh-leyeh di atas batu besar di pinggir pantai. Mengamati kondisi sekitar. Sampai gue penasaran lompat ke batu yang lebih ke tengah. Beruntungnya kami sore ini, langit cerah walaupun berawan tipis. Tak menghalangi mentari sore bersinar dan memunculkan bias yang indah. Ipul dan Ujang beraksi dengan kameranya. Lagi-lagi Ipul nyuruh gue pose ala-ala Dian Pelangi lengkap dengan properti payung pelanginya. "Muter Tay, Muter..." "Agak lompat dikit, dikit aja" "payungnya celupin ke air trus angkat, gini Tay" "Tay, roknya kurang megar, angkat dikit Tay" "Tay, coba sambil tatapan seksi gitu Tay"
"Ogaaaahhh... Ogah amat gue seksi-seksi di depan orang-orang durjana. Elu mah, nyuruh aneh-aneh trus langsung cekikikan dah.. -__-" Udah ah, ogah amat gue." War dimulai, karna Ipul seneng bener ngerjain gue. Sesi pemotretan di atas batu selesai.

Ahh.. sudahlah...
Ipul dan Ujang lagi-lagi ngajakin nyebur ke air. Membuat gue tergiur. Kami kembali ke mobil untuk membawa baju ganti. Kami ganti baju seadanya, karna baju ganti kami yang menipis di hari terakhir. Kecuali Mimi, kami akhirnya jeburan di air lagi. Karna alasan Mimi tidak punya baju ganti lagi jadi ia memilih tetap menggalau di atas batu sambil selfie dan earphone di telinganya. Di bawah terik sore, kami memulai aksi lagi untuk shoot underwater.

"Dia yang mukanya lebarrr..... diaaa...!!!!"
Ujang, Wulan, dan gue berenang-renang main air, sementara Ipul sibuk mengambil spot karang yang bagus buat take shoot underwater. Begitulah Ipul, demi mendapatkan shoot yang kece, dia selalu rela mengorbankan waktu liburannya hanya buat temen-temennya senang *rili apresiet ya Pul* Sesekali Ipul memanggil kami satu persatu untuk foto bergantian di spot yang telah ia tentukan. "Lu pelan-pelan yak renangnya, jangan sampe pasirnya naik," begitu ujarnya sampai proses pemotretan underwater kesukannya itu selesai. Benar-benar orang yang berkorban untuk kesenangan teman-temannya.

Dibagian pemotretan berempat underwater, terlihat sekali kalau Encum orangnya rusuh dan gak mau ngalah, seperti biasa. Rasanya pengen gue jambak aja nih anak -__-" Gimana enggak, kalo pose underwater berempat pasti dia nyosor ke kamera trus mukanya lebar banget nutupin yang lain. Gue? Selalu jadi yang paling ngalah karna pastinya muka gue ketutupan sama badannya dia, atau ketutupan sama pasir yang naik karna gerakan dia yang heboh. "Kita sampe jam empat aja ya gaess," kata Ipul.

Itu tangan maksudnya bentuk apa coba ???!!!
Kami mengantri kamar mandi yang ala kadarnya. Kami membersihkan diri bergantian dari Ujang, Ipul, gue, lalu Wulan. Letak kamar mandi tak jauh dari bibir pantai, mungkin sekitar 50 meter. Berdiri di sebelah mushola kecil kotor tak terurus. Atau mungkin memang karna masih tahap renovasi dan pembangunan jadi fasilitas di sini belum sempurna. Tak ada penerangan. Hanya celah kecil cahaya dari atap yang membantu mata beradaptasi dalam gelap. Giliran gue masuk ke kamar mandi. Air keran masih terus menyala. Niat hati sekaligus mandi. Tak berapa lama setelah membilas baju  dan dua kali guyur badan, kran air mati. "Cum, airnya mati yak?" tanya Wulan dari luar pintu kamar mandi.
"Kayaknya iya deh," jawab gue.
"Airnya masih banyak?"
"Tinggal dikit sih, setengah ember paling."
"Trus gue gak disisain?" Pertanyaan ini genap membuat gue gak enak hati. Gue aja baru sempet bilas badan dua guyur, langsung gue urungkan niat mandi karna tiba-tiba keran mati.
"Disisain nih, setengah ember tapi." gue pun segera menyudahi bersih-bersih yang kini harus ala kadarnya dan segera membalut badan dengan pakaian kering. Gue pun keluar kamar mandi masih dengan gak enak hati.
"Tuh kerannya masih sisa dikit buat lu wudhu." Gue yakin, dibalik kekesalan dia sama keadaan, pasti dia tetep mikirin temen-temennya.

Selesai sholat dan semuanya sudah siap untuk meneruskan perjalanan ke Tanjung Pandan. Gue ambil posisi duduk di tengah. Mimi gantian menempati posisi depan. Di tengah ada Wulan, Ipul, dan gue. Lalu dibelakang seperti biasa Ujang ngejogrog jagain tas sambil molor. Outer kuning yang basah gue jepit di jendela tengah samping gue biar keangin-anginan selama mobil melaju. Emang sih mobil kita bakal keliatan aneh. Sampe orang-orang yang kita lewatin heran ngeliat ada orang jemur baju kuning di jendela mobil. Gue memasang headset dan menikmati lagu sendiri. Begitupun Wulan. Ipul yang berada ditengah-tengah kami berdua sampai geleng kepala karna terganggu suara sumbang kami yang menyanyikan lagu tak tentu nada. Ini adalah satu pelarian bahwa gue sekarang merasa sangat tak enak badan. "Kalo pala gue sakit minum obat yang mana ya Je?" tanya gue ke Ujang yang pernah ngambil semester kedokteran.
"Paracetamol bisa. Minum satu aja," jawabnya.
"Eh, kalo dalam perjalanan jangan minum obat," jelas Ipul.
"Lah, emang kenapa Pul? Kecuali gue nyetir, mungkin ngeri jadi ngantuk. Lah gue gak nyetir," tukas gue.
"Soalnya pengalaman tetangga gue minum obat trus naik bajaj. Trus meninggal," jelas Ipul lagi yang malah membuat gue tambah hening.
"Itu emang udah ajalnya kali Pul."
"Entahlah, pokoknya semenjak itu gue sebisa mungkin menghindari minum obat kalo dalam perjalanan."
Akhirnya gue urungkan untuk minum obat di mobil setelah mendengarkan penjelasan Ipul yang sama sekali belum bisa diterima sama otak gue. Tapi ya sudahlah, gue cari aman aja.

Azan maghrib berkumandang. Mobil kami parkir di pinggir jalan seberang mesjid yang agak besar di salah satu sisi kota Tanjung Pandan. Kami buru-buru mengambil air wudhu karena sholat akan segera dimulai. Ditengah-tengah berjalannya sholat, tiba-tiba lampu masjid mati. Speaker imam otomatis mati dan memaksa gue untuk pasang telinga lekat-lekat. Tapi dengan matinya lampu, gue jauh lebih masuk ke dalam diri gue. Mempertanyakan segala yang ada di hati dan pikiran gue. Segala hal tentang arti hidup dan pencapaian sesungguhnya. Terima kasih Ya Allah, di waktu yang sedikit, setidaknya, aku dapat merasakan hati yang sejenak bernapas ketika mengingatMu dalam "

"Hallo Ceu, lu dimana?" tanya Mimi dalam percakapan telepon yang di loud speaker.
"Gue di mesjid, nunggu di depan," jawab orang di seberang.
"Yah, kita-kita udah di mobil, sini buru."
"Biarin aja gue ditinggal, biarin gue jadi orang Belitung aja," jawabnya kesel. Mungkin efek mati lampu, jadi kita-kita gak ngeh sama keberadaan yang lainnya.
Lengkap semua personel Laskar Mendung, dan perjalanan pun dilanjutkan ke destinasi paling menggembirakan. Belanja oleh-oleh.

=*=*=*=*=

Di sebuah gallery oleh-oleh khas Belitung yang letaknya tidak jauh dari Bundaran Batu Satam. Terlihat parkiran mobilnya hampir penuh. Suasana kota Tanjung Pandan malam hari jauh lebih ramai dari siang hari. Atau mungkin karna ini efek hari Minggu ya. Ketika memasuki gallery, lagi-lagi pengunjung di sini baru kita aja. Mungkin ada beberapa yang masuk lebih dulu sekitar dua atau tiga orang saja. Para pramuniaga masih leluasa menjelaskan nama-nama produk yang mereka jual, baik makanan olahan ataupun makanan mentah. Di sini kami berpencar untuk mendapatkan apa yang kami cari untuk kami beri kepada orang-orang tercinta di Jakarta sana.

Gue mengambil keranjang belanja. Hal pertama yang terlihat di depan mata adalah kerupuk kemplang yang udah jadi permintaan utama teman-teman kantor di Jakarta. Setelah memasukan beberapa bungkus kerupuk kemplang, gue pun mengambil beberapa keripik teri dan keripik kulit ikan banyak rasa buat tambahan oleh-oleh. Selain itu Pak Andi tadi rekomen sambel lingkung yang ternyata adalah abon ikan yang gue ambil buat oleh-oleh sohib kece gue Nurul dan juga ada bubuk Kopi Manggar. Beberapa souvenir kecil buat kenang-kenangan juga masuk keranjang. Ada lagi pesenan bapak gue, suruh beli ikan asin yang lebar-lebar, dan gue pun ambil yang paling lebar. Gue juga inget terasi khas Belitung yang segede bola kasti buat emak gue, gue berharap emak gue bisa bikinin nasi goreng seafood ala resto Kusno di Tanjung Kelayang. Selain itu juga, seperti biasa, mumpung di Belitung, gue beli kaos Belitung yang harganya melangit banget. Membuat gue menjadi yang paling lama berbelanja dan menghabiskan uang dengan cukup fantastis. *sad song*

Pelayanan yang diberikan cukup mumpuni sebagai pengelola gallery kecil oleh-oleh. Namun jika dibandingkan di Jakarta, khususnya di supermarket, mereka masih dibilang cukup jauh dari segi sikap, penampilan, dan kecekatannya. Apalagi pas gue lagi ngantri di kasir, gue baru ngeh karna ternyata pengunjung udah rame banget, sampe di kasir aja ngantri. Udah gitu kasir dan asisten kasir agak kagok melayani dan menghitung semua belanjaan kita. Dari cara pengepakan belanjaan pun, si operator mesih pengepak juga masih agak lemot dan kagok. Walaupun sudah menggunakan alat yang mumpuni. Jadi inget Visi kantor gue yang berbunyi, "mencetak SDM yang berbibit unggul". Mungkin ini penting buat diterapin supaya pengunjung merasa puas telah terlayani dengan baik.

Bertolak ke rumah makan yang di hari pertama kita-kita gagal makan di tempat ini. Yak, Mie Atep. Rumah makan yang menyajikan masakan khas Mie Belitung yang namanya sudah sangat tersohor se Indonesia. Dan waktu gue ke sana, si Enci yang punya itu rumah makan pas kebetulan ada di situ. Tapi karna kita udah lelah, jadi kita gak mikirin buat foto bareng Encinya apalagi ngambil foto restorannya. Jangankan ngambil foto restorannya, foto Mie Belitungnya aja enggak. Tapi walaupun begitu, rasa Mie Belitung nya tersimpan nikmat dalam ingatan. Bedanya dari Mie Acin, Mie Atep punya sensasi rasa yang lebih seger dari irisan mentimunnya. Rasa dasar kuahnya sama karna mengandung udang dan ebi yang diolah menjadi kuah kental. Untuk yang alergi seafood gue gak rekomen kalian buat makan ini. Karna berasa banget uadang di kuahnya.  Entahlah, pokoknya Mie Atep rasanya jauh lebih seger dari Mie Acin. Tapi Mie Acin rasanya jauh lebih seafood dari Mie Atep. Buat pada reader bisa dijadiin pembanding kalian lebih suka yang mana. Dengan segelas air jeruk hangat, kami pun mengakhiri perjalanan kami hari ini, dan menuju ke Penginapan Mitra di Jalan Duku Pangkal Lalang tidak jauh dari Mie Atep.

=*=*=*=*=

Mobil terparkir di halaman Penginapan Mitra yang tidak terlalu ramai. Tas-tas, kerdus-kerdus, segala atribut kami sudah diturunkan dari mobil. It's time too hard to saying goodbye... Setelah genap mengurus semua administrasi menginap, gue dan yang lainnya berfoto untuk yang terakhir kalinya sama Pak Andi di perjalanan kali ini. Semoga kita bisa ketemu di perjalanan berikutnya ya Pak..

Kok gue nulisnya sambil nangis ya.. Tisu mana tisu... *sompretin ingus* Entahlah, 3 hari jalan sama Pak Andi serasa ada koneksi batin bahwa gue dan teman-teman menganggapnya seperti keluarga. Keluarga kami di Belitung. Gelagat cerianya, kelincahan geriknya, semua tiba-tiba aja terflashback otomatis dari awal beliau menjemput kami di Bandara waktu kami baru tiba di Belitung. Beliau yang dengan kerendahan hatinya mengenalkan kami pada Belitung, pada keluarganya, pada teman-temannya. Gayanya yang supel dan suka menggoda mbak-mbak pelayan rumah makan, membuat kami merasa akrab dengan atmosfer negri Laskar Pelangi ini.

Farewell
Makasih ya Pak, sudah meluangkan waktunya untuk kami berkeliling di Belitung.
Makasih ya Pak, sudah membuat kami akrab dengan warga asli Belitung.
Makasih ya Pak, sudah mengantar kami pagi-pagi ke Pantai Tanjung Tinggi walau kami tahu bapak masih sangat mengantuk.
Makasih ya Pak, buat guyonannya yang mungkin sama kriknya dengan guyonan kami, tapi dengan begitu kita bisa tertawa bersama-sama.
Makasih ya Pak, buat guidenya trecking di Batu Mentas, kami jadi bisa liat semut raksasa segede jempol tangan.
Makasih ya Pak, buat semua kisah yang bapak ceritakan tentang Laskar Pelangi, walaupun akhirnya kita gak jadi ke tempatnya Harun, salah satu murid Bu Muslimah yang sangat ditunggu-tunggu.
Makasih ya Pak, buat segala sejarah yang bapak bagi tentang apapun itu mulai dari keluarga bapak, bagaimana bapak bisa ketemu Bunda, bagaimana sosok Gubernur kami Pak Ahok, bagaimana harga-harga penganan di Belitung, sampai sejarah tambang dan kubangan yang selalu saya anggap danau tempat rekreasi.
Makasih ya Pak, buat pengetahuannya tentang tanaman hutan sampe bibit anggrek hutan yang kering bapak rela bawa pulang untuk dihidupkan di pinggir pantai, padahal bagi kami itu tidak lebih dari akar kering yang terabaikan.
Makasih ya Pak, tentang teori kendinya, bikin saya mengawang-ngawang tentang seberapa lama sebuah kendi karam di dasar laut.
Makasih ya pak, buat semuanya...
Makasih juga ya Pak, karna bapak udah punya anak yang memikat hati seperti Kusno... *lalu ditabok keempat Laskar Mendung lainnya*

Mobil Pak Andi pun pergi, dan kami mengantarnya dengan lambaian tangan yang terbalaskan lambaian tangan beliau. Makasih banyak ya Pak...

Kami mengangkut barang-barang kami ke atas, ke kamar yang sudah kami sewa. Dua kamar untuk dua gender. Kamar wanitanya plus extrabed karna jumlah kami lebih dari dua, walaupun kami tidak mau menggunakan extrabed, tetapi chargenya tetap berlaku. Yaudah, kami minta extrabed yang langsung dikuasai oleh Mimi. Berhubung gue mules, guelah yang menguasai kamar mandi paling pertama. Kamar dan kamar mandinya super bersih, airnya jernih dan sejuk. Ada shower juga. Tetapi yang gue gak habis pikir WC duduknya tanpa semprotan cebok juga, sama kayak di Kelayang Cottage. Entah mungkin ini style WC duduk di sini *gue mencoba berpositive thingking*. Dengan badan yang panas dan demam, gue paksakan buat keramas, karna waktu di Pantai Punai tadi kepala gue gak sempat gue bilas.

Sambil ngecharge hape dan semua gadget, sambil gue nonton tivi kabel yang cuma ada satu channel. Walaupun begitu, untungnya lagi diputer film Mockingjay Part 1, karna emang sebentar lagi bakalan premier yang Mockingjay Part 2. Selesai bersih-bersih, packing, dan numpang sholat di kamar cowok yang udah pada tepar, waktunya minum paracetamol yang tadi di mobil gak jadi gue minum. Dengan badan yang agak demam, semoga besok pagi panasnya sudah turun.

Percakapan di SMS :
Pak Andi : Yuk, aku sudah sampai di Kelayang dengan selamat. Met rehat semuanya..
Gue      : Alhamdulillah pak. Semoga bisa main kesini lagi lain waktu. Terimakasih semua jasa, waktu, dan kebersamaannya pak. Sudah seperti keluarga sendiri. Hhe.. Salam juga buat keluarga disana + kapten santo + semua kru yang membantu. Terimakasih banyak semuanya. Sampaikan juga ke ibu. Nasi gorengnya enak ;) Salam
Pak Andi : Ooo.. ya. Yang bikin nasgor Kusno, bukan Bunda.

=*=*=*=*=

- Eswe, 22th -
Belitong, 15 November 2015 

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Followers