Bersamamu hari perayaan tak lagi menjadi hal yang signifikan. Bersamamu aku bahagia, walau harus sering bertengkar memutuskan harus makan di mana. Kamu pernah menjadikanku wanita paling bersyukur sedunia hanya dengan berbagi tawa berdua di beranda kemudian duduk-duduk malas sembari bermain bersama.
Aku menerima kebiasaanmu yang suka menunda mandi sebelum malam. Kuakrabi bulir-bulir keringat di atas lipatan bibirmu, kuseka dengan penuh cinta yang kini menyisakan sembilu. Kuterima protesmu yang jengah melihatku rumit. Kunikmati semburat tangis yang tak terelakkan.
Namamu pernah begitu gigih kutasbihkan. Mengaliri oksigen nafas tersenggal-senggal menuju puncak. Kamu sempat jadi alasanku bertahan di tengah perjalanan yang membuatku hampir mati karena kelelahan.
Menemukan lingkar tubuhmu di ujung perjuangan, pernah jadi satu-satunya alasan aku tak berhenti berjuang.
Perjalanan keras macam itu membuatku makin mensyukurimu sebagai kenyamanan. Sayangnya kini aku hanya sedang kehilangan pijakan. Kehabisan cara meyakinkan diri sendiri untuk berjalan dan bertahan. Hingga aku habis nafas, setengah pingsan, lalu kehilangan jawaban atas tanda tanya besar,
“Masihkah kau menginginkanku?”
Bagiku kamu adalah muara kehidupan, poros tengah yang membuat seluruh duniaku berputar. Tapi bagaimana dengan posisiku di matamu?
Bukankah aku hanya satu episode yang kamu nikmati sebaik mungkin, untuk kemudian ditinggalkan saat tulisan “Tamat”; muncul di hadapan? Bukankah aku hanya persinggahan, yang pada akhirnya juga akan kamu lepaskan?
Mati-matian aku berkorban. Kuberikan semua yang bisa kupersembahkan. Kepalaku tak ujung menjadi kaki hanya demi membahagaiakanmu. Hanya bersamamu aku pernah menjelma jadi wanita yang mau mengerjakan apa saja, selama kau suka. Kau minta aku memasak? Aku belajar sebisanya, meski kuyakin masakanku jauh dari sempurna.
Kau minta ku belajar berdandan? Kuiyakan kemauanmu tanpa banyak bicara. Tak hanya sekali-dua kali kau temukan aku membuat wajahku berwarna dan lebih segar dari biasanya. Dalam semua tindak kecil itu, tak bisakah kau temukan setitik saja rasa cinta? Aku yang memang tak ada pesona, atau kau yang tak punya hati sebagai manusia?
Kucintai kau sebisanya, kau cintai aku sewajarnya. Dan seperti sudah kuduga sebelumnya, cinta kita punya masa kadaluarsa. Kau memilih dia, yang bisa mendapatkan cintamu tanpa perlu banyak usaha.
Di depan matamu ingin kuteriakkan, “Apa yang kamu cari?” Tak sadarkah dirimu atas kehadiranku di sini?
Bohong jika kubilang aku baik-baik saja. Merindukanmu adalah bentuk hukuman Tuhan paling menyiksa
Aku tidak baik-baik saja. Di matamu, barangkali kau tetap melihatku kuat dan bahagia. Tapi setiap ujung malam, kugelung selimut agar mampu tidur dalam. Lebih dari sekali kamu menerobos masuk tanpa izin dalam angan, membuatku bangun dengan jantung berdebar kencang dan keringat yang mengocor seperti air keran.
Aku pernah jadi sampah yang suka menyiksa diri sendiri dengan menelan obat dengan dosis tinggi, menunggu mati datang lebih cepat. Kemudian mengunjungi tempat-tempat ke mana kita biasa pergi. Kubayangkan kembali betapa nyamannya jika kamu ada di sisi, mendampingi, meski hanya separuh hati. Kubuka kembali pesan-pesan lawasmu hanya demi sedikit rasa hangat di hati. Aku rela membayar apapun, dengan cara apapun, demi mendapatkannya sekali lagi.
Tapi tahukah kamu apa yang paling menyiksa dari semuanya? Kejatuhanku yang sangat dalam padamu membuatku takut tak bisa lagi jatuh cinta. Kamu sudah mengambil semuanya, padamu sudah kuberikan segalanya —. Iya, segalanya.. tak ada sekerat pun rasa yang tersisa untuk cinta selanjutnya. Aku mati rasa, hatiku tak bisa lagi membuka.
Dalam titik-titik terlemahku sempat terucap permohonan agar diberikan amnesia. Atau matikan saja aku, tak peduli jika Tuhan mengirimku ke neraka. Merindukanmu adalah bentuk terkejam dari hukuman Tuhan — kemampuanku sebagai manusia sungguh tak seberapa untuk menghadapinya tanpa kesakitan
Aku memilih pergi bukan karena kau tak lagi kucintai. Kini, izinkan aku mencintaimu dengan caraku sendiri
Di mataku, ini bukan soal kepemilikan. Bukan soal kamu menemani siapa makan siang. Bukan juga soal bersama siapa kamu seharian. Semuanya soal keputusan. Ada yang harus berani ambil resiko dan memulai. Dan nampaknya, hatimu terlalu lembut untuk menyakiti. Maka, ijinkan aku mengawali.
Aku punya cara berbeda untuk menyayangimu. Pegang kata-kataku ini. Aku pergi, bukan berarti membenci. Aku sungguh mencintaimu. Aku cuma mau kamu tahu bagaimana pentingnya aku. Aku cuma mau kamu merasakan dunia tanpa berbagi nafas denganku. Aku ingin kau mengerti betapa berharganya aku.. Supaya kita sama-sama tahu. Bahagiakah kamu jika aku tak menyandingmu? Tangguhkah aku tanpa topanganmu?
Mencintaimu dengan berbeda, bukan berarti tidak mencintaimu sama sekali. Saat kau butuh teman diskusi, waktuku sudah pasti kau miliki. Aku tak pernah jauh, hanya sedikit menyingkir demi menjaga hati. Perhatianku jelas berjeda, tapi berarti.
Kasih sayangku pendiam, tak perlu diteriakkan lantang. Jika terlalu keras cintaku kusuarakan, justru nanti kau sakit.
Dan bukankah sesuatu yang tenang dan tak lantang memang biasanya tak kunjung reda?
-Hana, 21th-
In the pouring rain
1 komentar:
biasanya eswe, kok hana?
Posting Komentar