Selasa, 17 Maret 2015

"Rubi"



Satu hal yang aku tahu. Aku kini telah senja. Dengan tubuh yang kadang gemetar, atau ingatan yang terkadang samar. Ketiga putri ku pun mulai dewasa. Satu per satu meraih asa. Membahagiakanku, walau kala nanti aku tahu mereka lena melupakan si tua ini. Tak terasa masa di mana aku menangis pedih. Masa ketika aku, si Rubi kecil yang tak memiliki ayah. Tawaku hanya pengelakan bahwa aku akan baik-baik saja bersama Ibu dan kedua kakak perempuanku. Walaupun cantiknya bulan, kemapanan, dan kebahagiaan bersama suami dan putri-putriku telah kuraih. Tapi dibalik itu semua, ada secuil luka yang masih basah. Tapi mungkin tak ada pilihan untuk menjadi bahagia layaknya orang yang memiliki ayah.
--
Kejahilannya masih sama seperti anak sebayanya. Namun ketika teman-temannya berbicara tentang ayahnya, gadis itu hanya bisa bungkam. Menyendiri dan berkata dalam hatinya, “aku baik-baik saja tanpa ayah”. Berkilah sekian lama dan harus selalu seperti itu. Menerima takdir bahwa kelahirannya tanpa ayah, karna ayahnya jatuh hati pada ibu lain. Ibu lain yang tak pernah ia anggap ada. Ibu lain yang selalu menyakiti hati ibunya.
--
Kami menyebut mereka keluarga yang tabah. Ibu mereka miskin dan harus buruh tani kesana kemari. Kakak pertamanya, Warti, terpaksa rela menikah di usia belia dengan seorang kepala desa. Tujuannya satu, demi mengangkat derajat ibu dan adik-adiknya. Kakak keduanya tidak bersekolah. Sehari-hari Warning ikut ibunya buruh tani di ladang orang. Dan si kecil Rubi, menjadi satu-satunya anak yang bersekolah. Kami pun percaya, Rubi lah yang akan mengubah hidup keluarga kecilnya suatu saat nanti.
--
 Ibu masih asyik bersama ayah dan cangkir teh favoritnya di balkon rumah. Duduk di bangku jati penuh ukiran kuno kesayangan ayah. Namun kisah pedihnya membayang-bayang dalam senyumnya. Setidaknya, Ayah selalu menjaga Ibu sampai sekarang. Bukan berarti Ayah tidak tahu kisah pahit Ibu. Hanya saja, Ayah berusaha membalutnya dengan kenangan indah mereka. Ayah tak akan pernah membiarkan sejarah kelam ibu terulang. Sampai saat anak-anaknya kini mengenyam sukses berkat keteguhan hati Ibu. Hati yang pada akhirnya memaafkan perbuatan Kakek dulu, yang memilih nenek lain dan mengacuhkan Ibu, nenek, dan kakak-kakak perempuan Ibu dalam masa-masa tersulitnya.
--
Aku tak dapat lagi mengelak bahwa sepenggal memori itu tetap bertengger dalam ingatanku. Bulir permata yang hampir jatuh di pelupuk ketika suamiku bertanya, “apakah kau sudah memafkannya? Biar bagaimanapun kita sudah senja.” Senyumku getir. Walau aku telah menutup mataku dan memalingkan pandanganku sejauh mungkin, tetap saja terlihat masih ada secuil luka yang belum sembuh. Aku tenggak teh cepat-cepat, berharap dengan itu perihnya hilang secepat hangatnya membalut dada.
“Semua yang Ibuku mau, dan semua impian kakak-kakakku sudah aku wujudkan. Aku butuh apalagi?” aku berusaha tegar.
“Apa patut kau melukai orang yang telah melukaimu?” yang aku tahu, kalimat ini sudah ku dengar puluhan kali.“Biarkan Ayahmu merasakan doa dari putrinya yang soleha, walau hanya sekali” tangisku pecah lagi, untuk yang kesekian kalinya.
Aku pun tak pernah tahu mengapa luka ini sulit sekali sembuh. Memori yang selalu saja terulang dalam bayang-bayang. Menyusup memenuhi ruang hampa yang berjelaga. Ketika Aku kecil harus mengemis pada seseorang yang seharusnya menyayangiku. Memori itu selalu saja terulang lagi…
“Pak, aku njaluk duite tenan iki. Gur rongatus perak wae. Wes sesuk-sesuk aku ra meneh ganggu-ganggu sampeyan,” Rubi kecil mengemis terisak demi ijazah sekolah dasarnya.
“Duit untumu!!!! Kono njaluk karo mbokmu, muliho kono!!” bentak Ayah pada putri kecilnya yang sedang memperjuangkan masa depannya.


-Eswe 22th-
Jakarta, 28'C

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Followers