Satu hal yang aku tahu. Aku kini telah senja. Dengan tubuh
yang kadang gemetar, atau ingatan yang terkadang samar. Ketiga putri ku pun
mulai dewasa. Satu per satu meraih asa. Membahagiakanku, walau kala nanti aku
tahu mereka lena melupakan si tua ini. Tak terasa masa di mana aku menangis
pedih. Masa ketika aku, si Rubi kecil yang tak memiliki ayah. Tawaku hanya pengelakan
bahwa aku akan baik-baik saja bersama Ibu dan kedua kakak perempuanku. Walaupun
cantiknya bulan, kemapanan, dan kebahagiaan bersama suami dan putri-putriku
telah kuraih. Tapi dibalik itu semua, ada secuil luka yang masih basah. Tapi
mungkin tak ada pilihan untuk menjadi bahagia layaknya orang yang memiliki
ayah.
--
Kejahilannya masih sama seperti anak sebayanya. Namun ketika
teman-temannya berbicara tentang ayahnya, gadis itu hanya bisa bungkam.
Menyendiri dan berkata dalam hatinya, “aku baik-baik saja tanpa ayah”. Berkilah
sekian lama dan harus selalu seperti itu. Menerima takdir bahwa kelahirannya
tanpa ayah, karna ayahnya jatuh hati pada ibu lain. Ibu lain yang tak pernah ia
anggap ada. Ibu lain yang selalu menyakiti hati ibunya.
--
Kami menyebut mereka keluarga yang tabah. Ibu mereka miskin
dan harus buruh tani kesana kemari. Kakak pertamanya, Warti, terpaksa rela menikah
di usia belia dengan seorang kepala desa. Tujuannya satu, demi mengangkat
derajat ibu dan adik-adiknya. Kakak keduanya tidak bersekolah. Sehari-hari Warning
ikut ibunya buruh tani di ladang orang. Dan si kecil Rubi, menjadi satu-satunya
anak yang bersekolah. Kami pun percaya, Rubi lah yang akan mengubah hidup
keluarga kecilnya suatu saat nanti.
--
Ibu masih asyik bersama
ayah dan cangkir teh favoritnya di balkon rumah. Duduk di bangku jati penuh
ukiran kuno kesayangan ayah. Namun kisah pedihnya membayang-bayang dalam
senyumnya. Setidaknya, Ayah selalu menjaga Ibu sampai sekarang. Bukan berarti
Ayah tidak tahu kisah pahit Ibu. Hanya saja, Ayah berusaha membalutnya dengan
kenangan indah mereka. Ayah tak akan pernah membiarkan sejarah kelam ibu
terulang. Sampai saat anak-anaknya kini mengenyam sukses berkat keteguhan hati Ibu.
Hati yang pada akhirnya memaafkan perbuatan Kakek dulu, yang memilih nenek lain
dan mengacuhkan Ibu, nenek, dan kakak-kakak perempuan Ibu dalam masa-masa
tersulitnya.
--
Aku tak dapat lagi mengelak bahwa sepenggal memori itu tetap
bertengger dalam ingatanku. Bulir permata yang hampir jatuh di pelupuk ketika
suamiku bertanya, “apakah kau sudah memafkannya? Biar bagaimanapun kita sudah
senja.” Senyumku getir. Walau aku telah menutup mataku dan memalingkan
pandanganku sejauh mungkin, tetap saja terlihat masih ada secuil luka yang
belum sembuh. Aku tenggak teh cepat-cepat, berharap dengan itu perihnya hilang
secepat hangatnya membalut dada.
“Semua yang Ibuku mau, dan semua impian kakak-kakakku sudah
aku wujudkan. Aku butuh apalagi?” aku berusaha tegar.
“Apa patut kau melukai orang yang telah melukaimu?” yang aku
tahu, kalimat ini sudah ku dengar puluhan kali.“Biarkan Ayahmu merasakan doa dari
putrinya yang soleha, walau hanya sekali” tangisku pecah lagi, untuk yang
kesekian kalinya.
Aku pun tak pernah tahu mengapa luka ini sulit sekali
sembuh. Memori yang selalu saja terulang dalam bayang-bayang. Menyusup memenuhi
ruang hampa yang berjelaga. Ketika Aku kecil harus mengemis pada seseorang yang
seharusnya menyayangiku. Memori itu selalu saja terulang lagi…
“Pak, aku njaluk duite tenan iki. Gur rongatus perak wae. Wes
sesuk-sesuk aku ra meneh ganggu-ganggu sampeyan,” Rubi kecil mengemis terisak
demi ijazah sekolah dasarnya.
“Duit untumu!!!! Kono njaluk karo mbokmu, muliho kono!!”
bentak Ayah pada putri kecilnya yang sedang memperjuangkan masa depannya.
-Eswe 22th-
Jakarta, 28'C